Sabtu, 07 April 2012

FATHIMAH AZ-ZAHRA’

Beliau adalah sayyidah wanita seluruh alam pada zamannya, putri keempat dari Rasulullah s.a.w. dan ibunya Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid.
Allah menghendaki kelahiran Fathimah kurang dari lima tahun sebelum Nabi diutus, dekat dengan peristiwa yang agung yaitu di saat orang-orang Quraisy rela menyerahkan hukum kepada Muhammad tentang perselisihan yang hebat di antara mereka untuk meletakkan Hajar Aswad setelah diadakan pembaharuan Ka’bah. Beliau ‘Alaihis Shalatu Wassalam dengan kecerdikan akalnya mampu menyelesaikan problem dan mencegah pertumpahan darah antara kabilah-kabilah di Arab.
Rasulullah s.a.w. mendapat kabar gembira dengan kelahiran putrinya dan nampaklah barakah dan keberuntungan dengan kelahiran putrinya. Belaiu memberikan julukan kepada Fathimah dengan “Az-Zahra’”. Beliau dikunyahkan pula dengan Ummu Abiha (ibu dari ayahnya). Beliau s.a.w. adalah yang paling mirip dengan ayahnya Muhammad s.a.w..
Fathimah tumbuh dalam rumah tangga nahawi yang penuh kasih sayang. Nabi melindungi dan menjaganya dan tekun mendidik beliau agar beliau mengambil bagian yang cukup dari adab, kasib sayang dan nasehat nahawi yang lurus. Hal yang menggembirakan ibunya, Khadijah adalah sifat Fathimah yang baik, lemah lembut dan terpuji.
Dengan sifat-sifat itulah Fathimah tumbuh di atas kehormatan yang sempurna, jiwa yang berwibawa, cinta akan kebaikan dan akhlak yang baik mengambil teladan dari ayahnya Rasulullah s.a.w. yang menjadi contoh agung bagi Fathimah dan sebagai teladan yang baik dalam seluruh tindak-tanduknya.
Manakala usia Fathimah mendekatj usia lima tahun, mulailah suatu perubahan besar dalam kehidupan ayahnya dengan turunnya wahyu kepada beliau. Sehingga Fathimah turut merasakan mula pertama ujian dakwah. Beliau menyaksikan dan berdiri di samping kedua orang tuanya serta membantu keduanya dalam menghadapi setiap mara bahaya.
Beliau juga menyaksikan serentetan tipu daya orang-orang kafir terhadap ayahnya yang agung, sehingga beliau berangan-angan seandainya saja dia mampu, maka akan ditebus dengan nyawanya untuk menjaga beliau dari gangguan orang-orang musyrik. Hanya saja ketika itu beliau masih kecil.
Di antara penderitaan yang paling berat pada permulaan dakwah adalah pemboikotan yang kejam yang dilakukan oleh kaum musyrikin terhadap kaum muslimin bersama Bani Hasyim pada suku Abu Thalib. Sehingga pemboikotan dan kelaparan tersebut berpengaruh kepada kesehatan beliau. Sehingga sisa umurnya yang panjang beliau alami dengan lemahnya fisik.
Belum lagi Az Zahra’ kecil keluar dari ujian pemboikotan, tiba-tiba wafatlah ibunya yaitu Khadijah yang menyebabkan jiwa beliau penuh dengan kesedihan, penderitaan dan kesusahan.
Setelah wafatnya ibunda beliau, beliau merasakan ada tanggung jawab dan pengorbanan yang besar dihadapannya untuk membantu ayahnya, Nabi Muhammad s.a.w. yang sedang meniti jalan yang keras di jalan dakwah kepada Allah. Terlebih-lebih setelah wafatnya pamanda beliau Abu Thalib dan istri beliau yang setia yakni Khadijah.
Sehingga berlipat gandalah kesungguhan dan beban Fathimah dalam memikul beban dengan sabar dan teguh mengharap pahala Allah. Beliau mendampingi sang ayah dan maju sebagai pengganti tugas-tugas ibunya yang mana ibunya adalah seorang ibu yang paling utama dan istri yang paling mulia. Dengan sebab itulah Fathimah diberi gelar dengan “Ibu dari ayahnya”.
Ketika Rasulullah mengijinkan bagi para sahabat untuk hijrah ke Madinah, beliau menjaga rumah yang agung yang mana tinggal pula di dalamnya Ali bin Abi Thalib yang mempertaruhkan jiwanya untuk Rasulullah s.a.w.. Beliau tidur di tempat tidurnya Rasulullah s.a.w. untuk mengelabuhi orang-orang Quraisy (agar mereka menyangka bahwa Nabi belum keluar). Selanjutnya Ali menangguhkan hijrah beliau selama tiga hari di Makkah untuk mengembalikan titipan orang-orang Quraisy yang dititipkan kepada Rasulullah s.a.w. yang telah berhijrah.
Setelah hijrahnya Ali, maka hanya Fathimah dan saudara wanitanya Ummi Kultsum yang masih tinggal di Makkah sampai Rasulullah mengirimkan sahabat untuk menjemput keduanya yakni pada tahun ketiga setelah hijrah. Ketika itu umur Fathimah telah mencapai 18 tahun. Beliau melihat di Madinah para muhajirin dapat hidup tenang dan telah hilang rasa kesepian tinggal di negeri asing. Rasulullah mempersaudarakan antara kaum muhajirin dan anshor sedangkan beliau mengambil Ali sebagai saudara?
Setelah menikahnya Rasulullah dengan sayyidah ‘Aisyah maka orang-orang utama di kalangan sahabat mencoba melamar Az Zahra’ setelah mereka tadinya menahan diri karena keberadaan dan tugas Fathimah di sisi Rasulullah s.a.w..
Di antara sahabat yang melamar Az Zahra’ adalah Abu Bakar dan Umar, akan tetapi Nabi menolak dengan cara yang halus. Kemudian Ali bin Abi Thalib mencoha mendatangi Nabi untuk meminang Fathimah. Ali bercerita : “Aku ingin mendatangi Rasulullah s.a.w. untuk meminang putri beliau yaitu Fathimah. Aku berkata : “Demi Allah aku tidak memiliki apa-apa.” Kemudian aku ingat akan kebaikan beliau maka aku beranikan diri untuk meminangnya. Nabi bersabda kepadaku : “Apakah kamu memiliki sesuatu?” Aku berkata : “Tidak ya Rasulullah.” Kemudian beliau bertanya “Lantas di manakah baju besi Al-Khuthaimah yang pernah aku berikan kepadamu pada hari lalu?”“Masih aku bawa ya Rasulullah Jawabku. Selanjutnya Nabi bersabda: ‘Berikanlah barang itu kepada Fathimah sebagai mahar.”
Kemudian segeralah Ali pergi dan sebentar kemudian datang dengan membawa baju besi. Rasulullah memerintahkan kepada beliau untuk menjualnya, kemudian hasilnya sebagai perlengkapan pernikahan. Akhirnya baju besi tersebut dibeli oleh Utsman bin ‘Affan dengan harga 470 dirham. Lalu Ali menyerahkan uang tersebut kepada Rasulullah s.a.w.. Maka beliau menyerahkan sebagim uang tersebut kepada bilal untuk dibelikan parfum dan wewangian, sedangkan sisanya diserahkan kepada Ummu Salamah untuk dibelikan perlengkapan pengantin.
Selanjutnya Nabi mengundang para sahabat dan mempersaksikan kepada mereka bahwa beliau telah menikahkan putrinya Fathimah dengan Ali bin Abi Thalib dengan mahar 400 mitsqal perak menurut sunnah yang lurus dan berdasarkan faridhah yang wajib. Beliau mengakhiri khutbah nikahnya dengan memohonkan barakah kepada Allah bagi kedua mempelai serta mendo’akan mereka agar menjadi keluarga yang shalih. Setelah itu beliau menyambut para tamu yakni para sahabat yang mulia yang tersedia di hadapan mereka dengan buah kurma.
Pada malam pernikahan Az Zahra’ bersama Farisul Islam Ali bin Abi Thalib, Rasulullah s.a.w. memerintahkan Ummu Salamah agar membawa pengantin putri ke rumah Ali bin Abi Thalib yang telah dipersiapkan sebagai tempat tinggal mereka berdua, dan beliau meminta agar mereka berdua menunggu beliau di sana.
Setelah shalat Isya’, Rasulullah s.a.w. mendatangi keduanya, kemudian beliau meminta diambilkan air dan beliau berwudhu dengannya lalu menuangkan air tersebut kepada mereka berdua seraya berdo’a “Ya Allah berkahilah keduanya, berikanlah barakah atas mereka dan berkahilah keturunan mereka berdua.”
Maka bergembiralah kaum muslimin dengan pernikahan Az-Zahra’dan imam Ali. Datang pula Hamzah paman Rasulullah dan juga paman Ali dengan membawa dua biri-biri kemudian disembelih lalu para sahabat memakannya di Madinah.
Belum genap satu tahun setelah pernikahan keduanya, Allah mengaruniakan penyejuk pandangan kepada Fathimah dan kekasihnya dengan lahirnya cucu pertama dari Rasulullah s.a.w. yang diberi nama Hasan bin Ali pada tahun ketiga setelah hijrah. Sehingga hal itu menggembirakan Nabi s.a.w. dengan kegembiraan yang besar, maka didengungkanlah adzan ke telinga bayi, dan digosoklah langit-langit mulut bayi tersebut dengan kurma serta diberi nama “Hasan”, lalu digundullah kepalanya dan disedekahkanlah perak seberat rambut tersebut kepada orang-orang fakir.
Belum lagi umur Hasan berumur satu tahun menyusul kemudiin lahirlah Husein pada bulan Sya’ban tahun 4 Hijriyah.
Maka terbukalah hati Nabi s.a.w. terhadap kedua cucunya yang berharga yakni Hasan dan Husein, sungguh beliau melihat bahwa kedua cucunya memiliki arti khusus bagi kehidupan beliau di muka bumi ini, maka beliau melimpahkan kecintaan dan kasih sayang yang dalam kepada keduanya. Tatkala turun ayat yang artinya :
“Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. A1-Ahzab : 33)

Adalah Nabi ketika itu bersama Ummu Salamah dan beliau mengundang Fathimah, Ali, Hasan dan Husein kemudian beliau menyelimuti mereka dengan kain seraya berdo’a :
“Ya Allah inilah ahli baitku, Ya Allah hilangkanlah dosa-dosa dari mereka dan bersihkanlah mereka dengan sebersih-bersihnya.”

Demikianlah Rasulullah s.a.w. mengulanginya tiga kali kemudian beliau melanjutkan do’anya :
“Ya Allah jadikanlah shalawat-Mu dan barakah-Mu terlimpah kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah melimpahkannya kepada keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. “

Kemudian diikuti buah yang penuh barakah yakni Fathimah melahirkan anak wanita pada tahun 5 Hijriyah yang oleh kakeknya diberi nama Zainab. Setelah berselang dua tahun lahir seorang anak wanita lagi yang diberi nama oleh Rasulullah Ummi Kultsum.
Karena itulah Allah telah mengaruniakan kepada Az-Zahra’ nikmat yang agung karena keturunan Nabi hanya diteruskan oleh anaknya, demikian pula Allah telah menjaga mereka yang memiliki silsilah keturunan yang paling mulia yang dikenal oleh manusia.
Karena kecintaan Rasulullah kepada putrinya yakni Fathimah, apabila pulang dari safar, beliau masuk masjid lalu shalat dua rekaat kemudian mendatangi Fathimah baru kemudian mendatangi istri-istri beliau. Telah diceritakan oleh Ummul mukminin ‘Aisyah, “Belum pernah aku melihat orang yang paling mirip dengan Rasulullah s.a.w. dalam berbicara melebihi Fathimah, apabila dia masuk menemui Nabi, maka Nabi berdiri untuk menyambutnya dan menciumnya serta melapangkan tempatnya. Begitu pula sebaliknya perlakuan Fathimah terhadap Nabi.”
Sungguh Rasulullah s.a.w. telah menggambarkan kecintaannya kepada putri beliau yang mulia tatkala beliau berkhutbah di mimbar : “Sesungguhnya Fathimah adalah bagian dagingku, maka barangsiapa yang menjadikan dia marah berarti telah menjadikan aku marah.”
Dan dalam riwayat lain : “Sesungguhnya Fathimah adalah bagian dari potongan dagingku, maka barangsiapa yang mendustainya berarti mendustaiku dan barangsiapa yang mengganggunya berarti dia mengganggu diriku.“

Sekalipun demikian melimpahnya kecintaan ini akan tetapi Nabi s.a.w. menjelaskan kepada putrinya dan juga yang lain agar senantiasa beramal dan berbekal takwa. Suatu hari beliau berdiri dan berseru :
 “Wahai sekalian orang-orang Quraisy jagalah diri kalian, sesungguhnya aku tidak dapat membantu kalian di sisi Allah sedikit pun, wahai... wahai... wahai Fathimah binti Muhammad mintalah kepadaku hartaku yang kamu sukai, aku tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah sedikit pun.”
Dalam riwayat lain: “Wahai Fathimah binti Muhammad selamatkanlah dirimu dari naar, karena sesungguhnya aku tidak kuasa memberikan madharat dan manfaat di sisi Allah. “
Dan Tsauban berkata : “Rasulullah s.a.w. masuk ke rumah Fathimah sedangkan ketika itu aku bersama beliau s.a.w.. Fathimah mengambil kalung emas dari lehernya seraya berkata: “Ini adalah kalung yang di hadiahkan Abu Hasan kepadaku.” Maka beliau bersabda : “Wahai Fathimah apakah engkau senang jika orang-orang berkata : inilah Fathimah binti Muhammad sedangkan di tangannya ada kalung dari naar?” Kemudian beliau memarahi Fathimah dengan keras dan menghardiknya, kemudian beliau keluar tanpa duduk terlebih dahulu. Maka Fathimah mengambil sikap untuk menjual kalungnya, kemudian hasilnya beliau belikan seorang budak wanita setelah itu beliau merdekakan. Tatkala hal ini sampai kepada Rasulullah s.a.w. , bersabdalah beliau : “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan Fathimah dari naar. “
Maka kedudukan yang telah diraih oleh Fathimah di sisi ayahnya Rasulullah s.a.w. tersebut tidak menghalangi Rasulullah memarahinya, mencelanya bahkan mengancamnya dan bahwasanya sekali-kali Rasulullah s.a.w. tidak dapat menolong Fathimah dari kehendak Allah. Bahkan beliau juga memberikan ancaman, seandainya dia mencuri, maka akan ditegakkanlah hukum atasnya yakni hukum potong tangan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang seorang wanita A1-Makhzumiyah yang mencuri kemudian kaumnya memintakan ampunan agar wanita tersebut bebas melalui Usamah bin Zaid bin Haritsah kekasih Rasulullah s.a.w., maka beliau bersabda : “Demi Allah seandainya Fathimah binti Muhammad itu mencuri niscaya akan aku potong tangannya.”
Bahkan lebih dari itu, dengan kapasitas kecintaan Nabi yang sangat mendalam kepada Fathimah, beliau lebih mendahulukan pemberiannya kepada orang-orang fakir dari yang membutuhkan daripada Fathimah, sekalipun beliau menghadapi sulit dan susahnya kehidupan. Ali berkata kepada Fathimah , “Alangkah lelahnya engkau wahai Fathimah sehingga menyedihkan hatiku. Sungguh Allah telah memberikan tawanan kepada Rasulullah s.a.w., maka mintalah kepada beliau satu tawanan saja yang akan membantumu dalam bekerja!” Fathimah menjawab, “Akan aku lakukan insya Allah.”
Kemudian Fathimah mendatangi Nabi s.a.w., tatkala beliau melihat kedatangannya beliau menyambutnya dan bertanya, “Ada keperluan apa engkau datang ke sini wahai anakku?” Fathimah menjawab, “Kedatanganku ke sini untuk mengucapkan salam buat ayah.” Tiba-tiba beliau malu untuk mengutarakan permintaannya, maka beliau pulang dan kembali lagi bersama Ali, lalu Ali menceritakan keadaan Fathimah kepada Nabi s.a.w.. Namun Rasulullah bersabda:
“Demi Allah aku tidak akan memberikan kepada kalian berdua sedangkan aku membiarkan ahlu shuffah dalam keadaan lapar, aku tidak mendapatkan apa-apa untuk aku infakkan kepada mereka, tapi aku akan menjual para tawanan tersebut dan hasilnya akan aku infakkan kepada mereka.”
Maka kembalilah mereka berdua ke rumahnya kemudian Rasulullah s.a.w. mendatangi keduanya. Beliau masuk rumah mereka dan mendapatkan keduanya sedang berselimut yang apabila ditutupkan kepalanya maka terbukalah kakinya dan apabila ditutupkan kakinya maka terbukalah kepalanya. Keduanya hendak bangkit untuk menyambut Nabi s.a.w. namun beliau bersabda “Tetaplah di tempat kamu berdua..! Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu yang lebih baik dari apa yang kalian minta kepadaku itu?” Mereka berdua menjawab, “Mau ya Rasulullah!’ Kemudian beliau bersabda : “Kuajarkan kepada kalian kata-kata yang diajarkan Jibril kepadaku, ucapkanlah setiap selesai shalat fardhu Subhanallah 10 kali, Alham dulillah 10 kali, dan Allahu Akbar 10 kali. Apabila kalian hendak tidur maka bacalah Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali dan Allahu Akbar 33 kali. Hal itu adalah lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pembantu.”

Maka Ali berkata: “Demi Allah, aku tidak meninggalkan kata-kata ini sejak beliau mengajarkannya kepadaku.” Salah seorang sahabat bertanya, “Tidak kau tinggalkan juga tatkala malam di perang shiffin?” Beliau menjawab, “Walaupun di malam perang shiffin.”
Sungguh sayyidah Fathimah telah melalui banyak kejadian-kejadian besar yang ruwet dan sangat keras, hal itu beliau alami sejak usia muda tatkala wafatnya ibu beliau, disusul kemudian saudara perempuannya yang bernama Ruqayyah, kemudian pada tahun 8 Hijriyah wafatlah kakaknya yakni Zainab dan pada tahun 9 Hijriyah menyusul kemudian wafatnya Ummi Kultsum.
Beliau juga menanggung hidup dalam kekurangan dan banyak mengalami kesulitan dan kesusahan. Akan tetapi seorang wanita yang dibina oleh Rasulullah tidak akan bersedih hati terlebih lagi berputus asa. Bahkan beliau adalah profil dan wanita yang sabar, konsisten dan muhajirah.
Tatkala Rasulullah s.a.w. melakukan haji yang terakhir (Hujjatul wada’) dan telah meletakkan dasar-dasar Islam dan Allah telah menyempurnakan dienul Islam, Rasulullah menderita sakit. Manakala Fathimah mendengar berita tersebut beliau dengan segera pergi menemui ayahnya untuk menghibur dan menenangkan hatinya, sementara Rasululah s.a.w. ketika itu bersama Ummul Mukminin ‘Aisyah . Pada saat Nabi s.a.w. melihat kedatangan putrinya, dengan riang gembira beliau bersabda, Selamat datang wahai putriku,’ kemudian beliau menciumnya dan mendudukkannya dikanannya atau di kirinya, kemudian Nabi s.a.w.  membisikkan sesuatu kepadanya sehingga membuat Fathimah menangis dengan tangisan yang memilukan, namun ketika Nabi melihat kesedihannya beliau membisikkan kepadanya untuk yang kedua kali sehingga menyebabkan Fathimah tertawa. ‘Aisyah berkata: “Rasulullah s.a.w. mengistimewakan engkau dari seluruh wanita anggota keluarganya dalam hal yang rahasia, tapi kamu malah menangis?” Tatkala Rasulullah sedang berdiri, ‘Aisyah bertanya, “Apa yang Rasulullah katakan kepadamu?” Fathimah menjawab, “Aku tidak akan menyebarkan rahasia Rasulullah s.a.w.”
‘Aisyah berkata: “Ketika Rasulullah wafat aku berkata kepada Fathimah, aku bertekad agar engkau menceritakan kepadaku tentang apa yang telah dikatakan Rasulullah s.a.w. kepadamu.” Fathimah berkata: “Adapun sekarang, baiklah aku ceritakan. Pada saat beliau membisiki aku yang pertama, beliau mengatakan bahwa biasanya Jibril memeriksa bacaan Qur’annya sekali dalam setahun, akan tetapi sekarang Jibril memeriksa bacaannya dua kali dan beliau merasa ajalnya sudah dekat. Maka takutlah kepada Allah dan bersabarlah, Sesungguhnya aku adalah sebaik-baik penghulu bagimu. Maka aku menangis dengan tangisan yang engkau lihat. Tatkala beliau melihatku sedih, beliau membisiki aku untuk yang kedua kalinya, beliau bersabda: “Wahai Fathimah relakah engkau menjadi ratu bagi para wanita di jannah? Dan engkau adalah anggota keluargaku yang paling cepat menyusulku.”
Mendengar kabar tersebut maka aku tertawa.’”
Semakin bertambahlah rasa sakit yang di derita oleh Rasulullah s.a.w. dan bertambah sedihlah Fathimah. Beliau berdiri disamping ayahnya untuk menjaga dan membantu beliau serta berusaha untuk bersabar. Akan tetapi manakala Fathimah melihat ayahnya nampak berat dan mulai kesakitan, Fathimah menangis tersedu-sedu dan berkata dengan suara lirih menandakan kesedihan, “Sakit wahai ayah..?” Maka beliau bersabda : “Tidak ada sakit lagi bagi ayahmu setelah hari ini.”
Tatkala beliau wafat Fathimah berkata : “Wahai ayah engkau telah memenuhi panggilan Rabb-mu.. wahai ayah jannah firdaus adalah tempat tinggalmu.. .wahai ayah kepada Jibril kami beritahukan wafatmu
Ketika Nabi ‘Alaihis shalatu wassalam dikubur, Fathimah berkata : “Wahai Anas bagaimana kalian tega menimbun ayah dengan tanah?’ Maka menangislah Az-Zahra’ ibu dan ayahnya dan menangislah kaum muslimin seluruhnya atas kematian Nabi dan Rasul Muhammad s.a.w. dan mereka ingat firman Allah :
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul.” (Ali Imran : 144).
Dan juga firman Allah :
“Kami tidak rnenjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu wafat, apakah mereka akan kekal?” (Al-Anbiya’ : 34)

Tidak beberapa lama kemudian setelah wafatnya Rasulullah s.a.w. kira-kira enam bulan, Az-Zahra’sakit namun dirinya bergembira dengan kabar gembira yang telah dikabarkan oleh ayahanda beliau s.a.w., bahwa dirinya adalah anggota keluarga pertama yang akan bertemu dengan Nabi, dan berpindahlah Fathimah keharibaan Allah pada malam selasa pada tanggal 3 Ramadhan 11 Hijriyah tatkala beliau berumur 27 tahun.
Semoga Allah merahmati Az-Zahra’ Raihanah (bunga yang harum) putri dari penghulu anak Adam, istri dari penghulu para prajurit penunggang kuda dan ibu dari Hasan dan Husein bapaknya para syuhada’ dan ibu dari Zainab pahlawan Karbala’.
Sungguh Az-Zahra’ telah memberikan teladan yang istimewa bagi kita, profil yang paling tinggi dalam hidupnya dan sungguh beliau adalah contoh yang paling tinggi sebagai istri shalihah yang bersabar menghadapi kesulitan dan kesempitan hidup. Beliau juga merupakan tokoh paling ideal dalam bergaul dengan tetangga dan kerabat-kerabatnya. Beliau adalah qudwah dalam menasehati umat dan pemberi arahan bahkan bagi anggota keluarganya.
-------------------------------------------------------
NISAA' HAULAR RASUL, Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi (Para Penulis), MENGENAL SHAHABIAH NABI S.A.W. (Edisi Indonesia), Abu Umar Abdullah Asy Syarif (Penterjemah), At-Tibyan Solo, halaman 117 – 129

Tidak ada komentar:

Posting Komentar