Jumat, 04 November 2011

BANGSA YANG MENGANGGAP DAGANG DAN RIBA SAMA SAJA

Allah berfirman (QS. Al Baqarah : 275)
“Orang-orang yang memakan riba, mereka tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang-orang yang gila kesurupan setan. Demikian itu karena mereka telah berkata, “Berdagang itu sesunngguhnya sama dengan riba”. Padahal Allah menghalalkan berdagang dan mengharamkan riba. Maka barangsiapa mau berhenti setelah datangnya nasehat ini dari Tuhan kepadanya, maka baginyalah apa yang sudah lalu dan perkaranya terserah kepada Allah. Tetapi barangsiapa yang mengulang kembali, maka merekalah penghuni neraka. Mereka akan kekal di dalamnya.”

Bangsa Yahudi menghalalkan riba, karena beranggapan bahwa keuntungan dengan berjual-beli dan keuntungan membungakan uang sama saja. Mereka beranggapan, kalau menjual barang dengan harga Rp. 10,- kontan, kemudian kalau dengan kredit Rp. 15,- atau Rp. 20,- dibolehkan, maka sebenarnya meminjamkan uang dengan bunga pun juga dibolehkan. Menurut mereka selisih bunga dalam kredit Sesuatu barang adalah karena pengunduran waktu. Jika pengunduran waktu semacam ini boleh dijadikan alasan untuk menaikkan harga barang, maka mengapa meminjamkan uang dengan bunga tidak boleh?
Pendirian mereka semacam ini sebenarnya adalah berdasarkan pikiran analogis yang salah. Kesalahannya ialah bahwa di dalam pembungaan uang secara otomatis merugikan satu pihak. Sedangkan dalam jual-beli (berdagang) pembeli dan penjual sama-sama menghadapi barangnya yang nyata, baik manfaat yang dapat dirasakan seketika itu ataupun pemikiran untuk selama-lamanya.
Misalnya orang yang membeli gandum, maka ia membeli untuk dimakan atau diperdagangkan lagi, dan bukan untuk dibuang ke tanah. Dan harga barang yang dibeli hanyalah dilakukan antara pembeli dan penjual berdasarkan kemauan bebas dan dengan kerelaan. Adapun riba berarti memberikan beberapa rupiah kepada peminjam, kemudian mengambilnya kembali berlipat ganda pada waktu yang lain. Apa yang diambilnya dan peminjam lebih dari pokok pinjaman bukanlah sebagai penukaran atau imbalan dan nilai barang atau kerja, tidak diambil atas dasar kerelaan dan kemauan bebas, tetapi dengan paksa dan kebencian.
Jual beli sebagai sarana untuk mendapatkan sesuatu yang akan dimiliki dilakukan oleh seseorang dengan pilihan dan kemauan bebas serta adanya kemerdekaan tawar-menawar. Dengan demikian dalam jual beli tidak ada sifat pemaksaan sepihak. Sebab jual beli yang dilakukan dengan cara paksaan adalah tidak syah. Hal ini jauh berbeda dengan riba. Selain tidak ada kemerdekaan dan kebebasan pilihan pada pihak yang harus membayar bunga, pada pihak pemberi pinjaman tidak mengalami resiko bila terjadi sesuatu yang merugikan. Bahkan pemberi pinjaman selalu bertambah keuntungannya sedangkan peminjam bertambah berat menanggung bunga uang.
Memperhatikan cara berpikir bangsa Yahudi yang menganggap dagang dan riba sama saja menunjukkan bahwa mereka mempunyai karakter lintah darat dan pemeras serta jauh dari perasaan belas kasihan kepada orang yang lemah. Maka dunia perdagangan bila dikuasai oleh bangsa Yahudi niscaya akan menimbulkan malapetaka bagi ummat manusia seluruh dunia. Bukti yang konkrit pada zaman modern ini ialah bencana yang menimpa negara-negara berkembang akibat yang dililit hutang akibat pinjaman yang berbunga dari Bank-Bank milik Yahudi di Amerika dan di Eropa Barat.
--------
76 Karakter Yahudi dalam Al-Qur’an
karya Syaikh Mustafa Al-Maraghi, penyusun Drs. M. Thalib, Penerbit CV. Pustaka Mantiq Solo, cetakan pertama April 1989, halaman 98 - 101

Tidak ada komentar:

Posting Komentar