Sabtu, 03 September 2011

SYEKH MUHAMMAD ‘ABDUH DAN PERJUANGANNYA

ASAL-USULNYA
Syekh Muhammad ‘Abduh seorang putera Mesir, lahir pada tahun 1849 dan wafat pada tahun 1905. Ayahnya, ‘Abduh bin Hasan Khairallah, mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa TurkL Sedang ibunya, mempunyal silsiiah keturunan dengan orang besar Islam, ‘Umar bin Khaththab, khalifah yang kedua.

PENDIDIKANNYA
Selaku anak dari keluarga yang ta’at beragama, mula-mula Muhammad ‘Abduh diserahkan oleh orang tuanya belajar mengaji Al-Quran. Berkat otaknya yang cemerlang, maka dalam waktu dua tahun, ia telah hafal kitab suci itu seluruhnya, pada hal ketika itu ia masih berusia 12 tahun.
Kemudian, Ia meneruskan pelajaran pada perguruan agama di masjid “Ahmadi” yang terletak di desa Thantha Akhirnya ia melanjutkan pada Perguruan Tinggi Islam “Al Azhar” di Kairo. Ia menamatkan kuliahnya pada tahun 1877, dengan hasil yang baik

BELAJAR DENGAN SAID JAMALUDDIN AL AFGHANY
Pada tahun 1869, datang ke Mesir seorang ‘alim besar, Said Jamaluddin Al Afghany, terkenal dalam dunia Islam sebagai Mujahid (pejuang), Mujaddid (pembaharu, reformer) dan Ulama yang sangat ‘alim. Ketika itu Muhammad ‘Abduh sedang menjadi mahasiswa pada Al-Azhar. Muhammad ‘Abduh bertemu dengan Said Jamaluddin untuk pertama kalinya, ketika ‘Abduh datang ke rumahnya, bersama-sama dengan Syekh Hasan At Tawil, dimana dalam pertemuan itu mereka berdiskusi tentang ilmu “tasauf’ dan “tafsir”.
Sejak itulah ‘Abduh tertarik kepada Said Jamaluddin, oleh ilmunya yang dalam dan cara berfikirnya yang modern; sehingga akhirnya ‘Abduh mengaguminya benar-benar dan selalu berada di sampingnya. sambil belajar juga pada Al-Azhar. Seiain ‘Abduh sendiri, banyak pula mahasiswa-mahasiswa Al-Azhar yang lain ditarik oleh ‘Abduh ikut datang kepada Said Jamaluddin untuk belajar.
Di samping diskusi-diskusi tentang ilmu-ilmu agama, mereka belajar juga kepada Said Jamaluddin pengetahuan-pengetahuan modern, filsafat, sejarah, hukum dan ketata-negaraan dan lain-lain. Suatu hal yang istimewa diberikan oleh Said Jamaluddin kepada mereka, ialah semangat berbakti kepada masyarakat dan berjihad memutus rantai-rantai kekolotan dan cara-cara berpikir yang fanatik dan merombaknya dengan cara berpikir yang lebih maju.
Udara baru yang ditiupkan oleh Said Jamaluddin, berkembang dengan pesat sekali di Mesir, terutama sekali di kalangan mahasiswa-mahasiswa Al-Azhar yang dipelopori oleh Muhammad ‘Abduh.
Karena ‘Abduh telah memiiki cara berpikir yang lebih maju, banyak membaca buku-buku filsafat, banyak mempelajari perkembangan jalan pikiran kaum Rasionalis Islam (Mu’tazilah), maka guru-guru Al-Azhar pernah menuduhnya telah meninggalkan “Mazhab Asy‘ari”. Terhadap tuduhan itu ‘Abduh menjawab: “Yang terang saya telah meninggalkan taklid kepada Asy’ari, maka kenapa saya harus bertaklid pula kepada Mu‘tazilah? Saya akan meninggalkan taklid kepada siapapun juga, dan hanya berpegang kepada dalil yang dikemukakan”

MENJADI DOSEN DARUL ULUM DAN AL-AZHAR
Setelah ‘Abduh menamatkan kuliahnya pada tahun 1877, atas usaha Perdana Menteri Mesir Riadl Pasya, Ia di angkat menjadi dosen pada Universitas “Darul Ulum” di samping itu menjadi dosen pula pada Al-Azhar. Di dalam memangku jabatannya itu, Ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang radikal sesuai dengan cita-citanya, yaitu memasukkan udara baru yang segar ke dalam Perguruan-perguruan Tinggi Islam itu, menghidupkan Islam dengan metode-metode baru sesuai dengan kemajuan zaman, memperkembangkan kesusasteraan Arab sehingga ia merupakan bahasa yang hidup dan kaya-raya, serta melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan fanatik. Tidak saja itu, tetapi ia juga mengeritik politik pemerintah pada umumnya, terutama sekali polilik pengajarannya, yang menyebabkan para mahasiswa Mesir tidak mempunyai roh kebangsaan yang hidup, sehingga rela dipermainkan oleh politik penjajahan asing.
Sayang bagi ‘Abduh, setelah kurang lebih dua tahun Ia melaksanakan tugasnya sebagai dosen dengan cita-cita yang murni dan semangat yang penuh, maka pada tahun 1879 pemerintah Mesir berganti dengan yang lebih kolot dan reaksioner; yaitu turunnya Khedive Ismail dari singgasana, digantikan oleh puteranya Taufiq-Pasya. Pemerintahan yang baru ini segera memecat ‘Abduh dari jabatannya dan mengusir Said Jamaluddin dari Mesir. Akan tetapi pada tahun berikutnya, Abduh diberi tugas kembali oleh Pemerintah menjadi pemimpin majalah “Al Waka’i Al Mishriyah” dan sebagai pembantunya diangkat Sa’ad Zaglul Pasya, yang kemudian ternyata menjadi pemimpin Mesir yang termasyhur. Dengan majalah ini, ‘Abduh mendapat kesempatan yang lebih luas kembali menyampaikan isi hatinya, dengan menulis artikel-artikel yang hangat dan tinggi nilainya tentang ilmu-ilmu agama, flisafat, kesusasteraan dan lain-lain Dan juga Ia mendapat kesempatan untuk mengeritik pemerintah tentang nasib rakyat, pendidikan dan pengajaran di Mesir.

DI BUANG KE SYRIA (BEIRUT)
Pada tahun 1882 terjadilah di Mesir suatu pemberontakan, di mana perwira-perwira tinggi yang tadinya dipercaya setia kepada pemerintah, ikut serta memimpin pemberontakan itu. Pemberontakan itu didahului oleh suatu gerakan yang dipimpin oleh Arabi Pasya, di mana ‘Abduh dianggapnya menjadi penasihatnya. Setelah pemberontakan itu dapat dipadamkan, ‘Abduh di buang ke luar negeri dan ia memilih Syria (Beirut). Di sini ia mendapat kesempatan mengajar pada Perguruan Tinggi Sulthaniyah, kurang lebih satu tahun lamanya.
Kemudian pada permulaan tahun 1884 ia pergi ke Paris atas panggilan Said Jamaluddin Al Afghany, yang waktu itu telah berada di sana.

SUMPAH PERJUANGANNYA
Walaupun ia berada dalam masa pembuangan yang jauh dari tanah airnya, namun semangat juangnya tidak pernah luntur, bahkan lebih menyala-nyala. Sa‘at itu dipandangnya sebagai suatu kesempatan yang terbaik untuk melebarkan sayap perjuangannya dan mengembangkan dakwah Islam seluas-luasnya. Kini dia berdakwah dalam alam cakrawala dunia Internasional yang lebih luas dan lebih besar. Ia berada di kota Paris yang terkenal sebagai kota central peradaban dan kebudayaan Eropa itu. Untuk itu terlebih dahulu dia harus bersumpah dan berjanji untuk dirinya sendiri agar dia betul-betul berjuang dengan sungguh-sungguh. Dan sumpah jihad Muhammad ‘Abduh yang hebat dan bermutu tinggi itu antara lain berbunyi seperti di bawah ini :
“Saya bersumpah atas nama Allah, bahwa saya akan berpegang teguh kepada Kitab Allah (Al Qur-an) dalam segala amal-bakti dan sikap moral saya tanpa penyimpangan dan penyesatan.....
“Saya akan senantiasa siap memperkenankan panggilan Tuhan dalam bentuk perintah atau laranganNya, dan akan berdakwah sepanjang hayatku tanpa pamrih .......
“Saya bersumpah atas nama Allah yang memiliki roh dan harta-benda saya, yang menggenggam nyawa serta mengendalikan segenap perasaan saya bahwa saya akan rela mengorbankan apa yang ada pada diri saya untuk menghidupkan rasa solidaritas Islam (Ukhuwwah Islamiyah) yang mendalam......
“Saya bersumpah atas nama Kehebatan dan Kekuasaan Allah, bahwa saya tidak akan mendahulukan kecuali apa yang diprionitaskan oleh agama Allah, dan tidak akan mentakhirkan kecuali apa yang dikemudiankan oleh agama; dan saya tidak akan melangkahkan sesuatu langkah kalau akan membawa kerugian bagi agama, sedikit atau pun banyak....
“Dan saya berjanji kepada Allah, bahwa saya akan selalu berdaya-upaya mencari segala jalan atau peluang untuk kekuatan Islam dan kaum Muslimin .

Sumpah perjuangan ‘Abduh yang ideal itu baik juga kita renungkan dan kita hayati bersama.

GERAKAN AL ‘URWATUL WUTSQA
Bersama-sama dengan Said Jamaluddin Al Afghany disusunlah di Paris, suatu gerakan bernama “Al ‘Urwatul Wutsqa”, gerakan kesadaran ummat Islam sedunia. Untuk mencapai cita-cita gerakan ini diterbitkannya sebuah majalah dengan nama organ ini juga, majalah “Al ‘Urwatul Wutsqa”. Dengan perantaraan majalah itulah ditiupkunnya suara keinsyafan ke seluruh dunia Islam, supaya mereka bangkit dari tidurnya, melepaskan cara berpikir fanatik dan kolot dan bersatu membangun kebudayaan dunia. Suara itu lantang sekali kedengaran dan dengan pesat menggema ke seluruh dunia, memperlihatkan pengaruhnya di kalangan ummat Islam, sehingga dalam tempo yang singkat, kaum imperialis menjadi gempar dan cemas oleh karenanya. Akhirnya Inggris melarang majalah itu masuk ke Mesir dan India; kemudian pada tahun 1884, setelah majalah itu terbit baru 18 nomor, pemerintah Perancis melarangnya terbit. ‘Abduh kebetulan dibolehkan pulang kembali ke Mesir, sedang Said Jamaluddin mengembara di Eropa dan terus ke Moskow.

KEMBALI KE MESIR
Setibanya ‘Abduh di Mesir, ia diberi jabatan penting oleh pemerintah. Masyarakat sangat menghormatinya, karena memang menanti-nantikannya untuk melanjutkan kembali bengkalai yang ditinggalkannya dahulu sebelum ia diusir oleh pemenintah.
Kepada pemerintah Mesir dikemukakannya rencananya untuk memperbaiki Universitas Al-Azhar. Rencananya itu disokong oleh pemerintah dan beliau sendiri dilindungi pula oleh Khedive ‘Abbas Hilmi. Namun begitu, beliau senantiasa mendapat halangan-rintangan dari kaum reaksioner di sana-sini.

JADI MUFTI MESIR
Pada tanggal 3 Juni 1899 beliau diserahi oleh pemerintah untuk memangku jabatan “Mufti” Mesir. Yaitu suatu jabatan yang paling tinggi dipandang oleh kaum Muslimin Berbeda dengan Mufti-mufti sebelumnya, ‘Abduh tidak mau membatasi dirinya hanya sebagai alat penjawab pertanyaan-pertanyaan pemerintah saja, tetapi ia memperluas tugas jabatan itu untuk kepentingan kaum Muslimin. Apa saja masalah-masalah yang timbul di kalangan kaum Muslimin, terutama bangsa Mesir, yang dihadapkan kepadanya, dilayaninya dengan senang hati dan diselesaikannya dengan baik. Demikianlah jabatan itu dijabatnya hingga ia meninggal dunia.
Di samping itu, beliaupun diangkat pula menjadi anggauta Majlis Perwakilan (Legislative Council). Dalam badan ini ‘Abduh banyak memberikan jasa-jasanya, dan oleh karena itu pula beliau sering ditunjuk menjadi ketua panitia penghubung dengan pemerintah.
‘Abduh pernah juga diserahi jabatan Hakim Mahkamah, dan dalam tugas ini ia dikenal sebagai seorang Hakim yang adil.

PEMBELA ISLAM YANG GAGAH BERANI
Karena ghirah dan ghairahnya kepada Islam, maka ‘Abduh sering tampil ke depan untuk membela Islam dari segala serangan dan penghinaan yang datang. Ditantangnya G. Hanotaux, Menteri Luar Negeri Perancis, karena tulisannya tentang Islam yang menurut ‘Abduh tidak benar dan merupakan suatu penghinaan. Ternyata kemudian G. Hanotaux seolah-olah minta ma’af dalam sebuah tulisannya yang dimuat dalam majalah “Al Muayyad” Kemudian diasahnya penanya untuk menghadapi Farak Anton, seorang Kristen, pemimpin umum majalah “Al-Jami’ah” yaitu sebuah majalah dari organ Kristen yang terbit di Kairo, karena Anton menulis dalam majalah itu hal-hal yang menyinggung Islam dan menghinanya. Banyak lagi peristiwa-peristiwa lain yang menunjukkan keberaniannya guna membela Islam, apalagi kalau dihina. Semuanya itu dilakukannya, tidak lain karena ghairahnya terhadap Islam.

KITAB “RISALAH TAUHID”
Menurut ‘Abduh, manusia hidup menurut ‘aqidahnya. Bila ‘aqidahnya benar, maka akan benar pulalah perjalanan hidupnya. Dan ‘Aqidah itu bisa betul, apabila orang mempelajarinya dengan cara yang betul pula. Pendirian inilah yang mendorong ‘Abduh untuk menegakkan “tauhid” dan berjuang untuk itu dalam hidupnya. Ia mengajar dan menulis tentang “tauhid” untuk umum dan untuk mahasiswa. Salah satu di antara karangannya ialah kitab ”Risalah Tauhid”. Buku ini berasal dari diktat-diktat kuliah beliau pada Universitas Al-Azhar yang kemudian untuk keperluan pengajaran ilmu tauhid, sengaja dibukukan oleh pengarang.
Karena uraiannya yang representatif maka buku ini telah mendapat sambutannya yang baik sekali di dunia untuk diajarkan di sekolah-sekolah tinggi, atau dipelajari oleh orang-orang yang hendak mengetahui seluk-beluk ‘aqidah Islam.

KE’ALIMAN MUHAMMAD ‘ABDUH
Syekh Muhammad Abduh (1849-1905)
Tentang ke’aliman Muhammad ‘Abduh, tak ada dunia yang menyangsikannya, baik kawan maupun lawan. Ia termasuk tokoh Islam yang lengkap pengetahuannya (all-round). Di kala Jamaluddin Al Afghany diusir dari Mesir, maka terhadap pencinta-pencintanya yang sedang mengaguminya beliau berkata: “Saya tinggalkan Muhammad ‘Abduh bersama Saudara-saudara, dan cukuplah ía buat Mesir.”
Dan waktu dunia Islam berkabung, menatap ketika ‘Abduh ber-pulang kerahmatullah, maka di antara sekian banyak orang yang turut berduka-cita, terdapat Prof E.G. Browne, seorang alim Kristen bangsa Inggris yang menulis surat kepada adik Muhammad ‘Abduh, Hamudah Bey ‘Abduh, menyatakan antara lain :
“Selama umur saya, sudah banyak negeri-negeri dan bangsa-bangsa yang saya lihat. Tetapi belum pernah saya melihat seorang juga seperti almarhum itu, baik di Timur maupun di Barat. Karena tidak ada bandingannya dalam ilmu pengetahuan, dalam kesalehan, ketajaman pikiran, kejauhan pandangan, kedalaman pengertian tentang sesuatu. Tidak saja mengenai lahir, tapi juga mengenai batin. Tiada bandingannya dalam kesabaran, kejujuran, kepandaian berbicara, gemar beramal dan berbuat kebaikan, takut kepada Tuhan dan senantiasa berjuang di jalan-Nya, pencinta ilmu dan tempat berlindung orang-orang fakir dan miskin”

CUM LAUDE YANG DATANG TERLAMBAT
Sebagai mahasiswa Al-Azhar yang berfikiran dan berfaham maju, Muhammad ‘Abduh sering terbentur pada pertarungan dan perbedaan pendapat dengan para dosen Al-Azhar yang kolot-kolot. Dan perbenturan pendapat itu mencapai puncaknya pada waktu Muhammad ‘Abduh hendak mengakhiri masa kuliahnya dalam suatu munaqasyah ujian terakhir yang harus dihadapinya.
Munaqasyah atau ujian terakhir itu merupakan perdebatan ilmiah yang amat sengit sekali. Para dosen penguji yang didominir oleh para Syekh Azhar yang kolot itu, jauh-jauh sebelum ujian telah sentimen dan bertekad buruk terhadap ‘Abduh, yakni tidak akan meluluskannya dalam ujian terakhir itu.
Tetapi namun demikian ternyata, bahwa di kalangan para dosen penguji itu ada yang masih murni dan jernih fikirannya. Karenanya pendapat mereka terpecah dua. Sekelompok yang terdiri dari para dosen yang kolot cara berfikirnya yang diketuai oleh Syekh ‘Alisy berpendapat, bahwa ‘Abduh tidak lulus. Dan yang lain yang berfikiran maju berpendapat, bahwa Muhammad ‘Abduh berhak mendapat nilai nomor satu bahkan lebih dari itu yaitu Cum Laude. Dengan alasan, bahwa segala pertanyaan yang diajukan kepada ‘Abduh dijawabnya dengan cara yang amat luas secara ilmiah yang mengagumkan. Pihak ini memandang Muhammad ‘Abduh adalah bintangnya mahasiswa Al-Azhar dan amat jarang mahasiswa Al-Azhar secerdik semaju Muhammad ‘Abduh dalam caranya dia mengungkapkan buah fikiran dan pendapatnya yang luar biasa itu. Namun demikian Syekh ‘Alisy dan kawan-kawannya yang kolot itu tetap berkeras kepala, bahwa Abduh tidak lulus, karena fahamnya yang maju dan cara berfikirnya yang modern itu akan berbahaya bagi Al-Azhar. Akhirnya Rektor Al-Azhar Syekh Muhammad Al-Abbasy Al-Mahdy turun tangan untuk menenteramkan pertarungan pendapat yang sengit itu untuk menjaga suasana Al-Azhan sendiri. Beliau yang turut menyaksikan munaqasyah itu dengan secara berat hati menyatakan Muhammad ‘Abduh lulus beroleh syahadah dengan “derfat kedua” setelah salah seorang dosen penguji mengajukan usul jalan tengah seperti itu, yakni setelah terjadi perdebatan yang lama dan panjang sekali. Sebenarnya Rektor sangat kagum terhadap segala jawaban yang diberikan Muhammad ‘Abduh atas segala pertanyaan yang diajukan oleh para dosen penguji. Kekagumannya itu dinyatakannya terus-terang di antara para dosen itu, “bahwa dia tidak pernah melihat seseorang yang secerdas dan seteguh ‘Abduh itu membela ilmunya, dan bahwa dia sesungguhnya berhak mencapai derjat pertama (Ad-Darjatul Ula), bahkan ia berhak menerima yang lebih tinggi dari itu kalau ada.
Tetapi putusan itu belumlah final, karena Rektor sendiri yakin, bahwa putusan itu tidaklah adil bagi seorang alim seperti Muhammad ‘Abduh itu. Tetapi apa boleh buat, kondisi dan situasi waktu itu di mana kekolotan masih mencekam dan merupakan unsur yang dominan dalam Al-Azhar, Rektor terpaksa menyetujui putusan yang amat meragukan itu.
Setelah terjun ke masyarakat, bintang Muhammad ‘Abduh makin lama makin terang benderang melangkahi semua mereka yang berkuasa dalam Al-Azhar itu sendiri. ‘Abduh makin lama makin masyhur di dunia melampaui batas negerinya sendiri dan namanya makin harum semerbak karena ilmunya yang tinggi. Hal ini memaksa Al-Azhar meninjau kembali keputusannya yang tidak adil dan tidak tepat dua puluh enam tahun yang lalu itu.
Akhirnya 26 tahun kemudian (1904), yakni di kala Rektor Al-Azhar dijabat oleh Syekh Ali Al-Bablawy, ditetapkanlah, bahwa kepada Syekh Muhammad ‘Abduh harus diberikan haknya yang sebenarnya, yakni nilai tertinggi yang berupa: Cum Laude. Tetapi penghargaan ini sebenarnya tidak diperlukannya lagi, karena sebelumnya dia telah men/adi orang aiim yang termasyhur di seluruh dunia. Ya, tidak diharapkannya lagi, karena keputusan “Cum Laude” itu sudah sangat terlambat datangnya, karena setahun kemudian beliau akan berpulang ke rahmatullah, meninggalkan dunia ini dan meninggalkan “Al-Azhar” dengan segala kekolotannya yang masih mencekam di sana-sini.
Demikianlah selayang pandang riwayat hidup Muhammad ‘Abduh dan perjuangannya, seorang ulama besar, seorang pembaharu (mujaddid) yang penuh dedikasi, juru pengubah yang genial, yang hidup sebagai jembatan penghubung antara kemajuan abad ke-19 dengan abad ke-20 (1849 – 1905).
----------------------------------------
Risalah Tauhid, Syekh Muhammad ‘Abduh, penterjemah K.H. Firdaus A.N., Penerbit Bulan Bintang Jakarta, Cetakan ketujuh 1979, halaman 17-25

Tidak ada komentar:

Posting Komentar