Sabtu, 30 Juli 2011

MENYONGSONG HIDAYAH BERBEKAL FITRAH

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan (puasa Ramadhan) dan hendaklah kamu mentakbirkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS: 2: 184)
Sebulan penuh seorang beriman secara khusus dan serius bertarung melawan pasukan nafsu. Pasukan-pasukan itu tak pernah menampakkan diri, tetapi bisa membuat taklukannya dijadikan bulan-bulanan. Bahkan sepanjang hidup ia seenaknya menjajah dan memperbudak tawanan yang kalah perang dengannya. Kecuali bila Seseorang segera menyadari bahwa dirinya selama ini tidak merdeka dan berlarut-larut telah menjadi jajahan kolonial nafsu.
Perang (jihad) melawan nafsu berarti perang melawan diri sendiri. Sebab nafsu adalah salah satu unsur jiwa yang terdapat dalam diri manusia. Perang tersebut bukan dalam rangka untuk membunuh, sekalipun kemenangan selalu menjadi dambaan. Bagaimanapun nafsu adalah kelengkapan diri manusia. Tanpa nafsu manusia bukan manusia lagi. Malaikat barangkali.
Maka bisa dibayangkan betapa beratnya perang melawan diri. Bukan sekadar musuh dalam selimut, tetapi musuh dalam jiwa. Tak mungkin kita tewaskan dan tak mungkin pula kita berjinak-jinak dengannya. Memang nafsu itu harus dikalahkan dan kemenangan harus diperoleh oleh setiap diri. Kemenangan yang tidak memusnahkan, sekadar menundukkan dan mengandalikannya ke arah positif.
Di bulan Ramadhan Allah memberikan kesempatan kepada kaum muslimin untuk lebih serius melanjutkan pentarungan antara kalah dan menang melawan hawa nafsu. Allah nampak berpihak kepada manusia untuk memenangkan pentarungan itu. Dengan kebijaksanaan-Nya, arena bertanding dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan manusia meraih kemenangan cukup besar. Arena bentanding itu disebut bulan suci Ramadhan. Bulan istimewa yang berlainan benar dengan bulan-bulan yang lain.

PEMENANGNYA BERTAKBIR 
Setelah sekian hari beradu kedigdayaan melawan bala tentara nafsu, seorang mu’min tampil meraih kemenangan. Ia boleh puas penuh bahagia, tanpa takabbur. Maka bertakbirlah ia mengagungkan asma Allah Yang Akbar. Saat itu disebut hari raya Iedul Fitri. Bukan hanya menikmati hari kemenangan, tetapi seorang mu’min akan merasakan kepuasan ruhani atas kembalinya ia kepada kesucian (fitrah).
Kenapa? Jawaban tepatnya: “Wallahu a’lam.” Tapi kita bisa memperbandingkan dengan dunia anak kecil atau bayi, yang relatif kehidupannya lebih tenang. Di saat orang tua bingung urusan kebutuhan rumah tangga, si kecil dengan tenang tertawa ria sepanjang hari. Seolah dunia ini sepi masalah (no problem). “Dunia no problem” itulah salah satu faktor penyebabnya.
Jika Nabi mensinyalir bahwa seserang yang tuntas melaksanakan puasa Ramadhan bisa diibaratkan seorang bayi yang baru saja dilahirkan, maka hal itu berarti ia akan meraih kebahagiaan sebagaimana yang dialami anak kecil. Bahkan bukan hanya karena faktor no problem dalam kehidupan dunia, lebih jauh ia akan semakin berbahagia karena terbebas dari problema ruhani yang bernama dosa.
Berbeda dengan penyakit jasmani yang penanggulangannya memerlukan berdirinya Fakultas Kedokteran, penyakit dosa biasanya kurang mendapat perhatian. Padahal penyakit ini mengakibatkan kesengsaraan dunia dan akhirat. Bila ia menjangkiti seorang manusia saja di dunia ini, akibatnya bisa berupa kehancuran ummat dan lingkungan. Dampak seorang yang terkena penyakit dosa Hitler, bumi Eropa menjadi api. Jelas berbeda sekali, jika saja Hitler sekadar terjangkit penyakit aids. Seganas apapun tidak akan sebanding dengan perang dunia kedua.
Di bulan suci Ramadhan seseorang bisa terhindar dan rumpukan dosa disebabkan kesuksesannya menghentikan sumber penyebab dosa yang bernama hawa nafsu. Dua macam nafsu yang seringkali merusak kehidupan manusia, pada bulan Ramadhan mendapatkan perhatian dan penanganan khusus, yaitu nafsu makan dan nafsu seksual. Keduanya merupakan sumber dan sekian banyak tingkah laku dosa. Maka sudah semestinya bila Allah memerintahkan kepada segenap mu’minin untuk berpuasa dengan meninggalkan makan, minum, hubungan seksual, dan apa saja yang bisa merusak keutamaan puasa.

HIDAYAH TERHIJAB NAFSU.
Di hari lebaran secara berjama’ah kini bertakbir. Bukan sekadar proklamasi berbagai hari kemenangan bertarung melawan nafsu sebulan penuh, namun di hari itu kita membuka lembaran sejarah baru untuk hidup dengan cahaya petunjuk Ilahi. Orang-orang yang berupaya berpetunjuk Ilahi dalam hidupnya disebut muttaqin. Sedang kader muttaqin telah menjadi tujuan bagi pelaksanaan ibadah puasa.
Untuk mendapatkan hidayah Allah tentu tidak lebih gampang dibanding memperoleh sekantong mutiara. Sementara untuk mendapatkan mutiara saja perlu kerja keras, apalagi yang namanya hidayah Allah. Harganya teramat mahal, karena dengan modal hidayah itu seseorang akan diantar menuju syurga.

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridahaan) Kami, benar-benar akan kamu tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS: 29: 69)

Melakukan hubungan suami istri di siang hari termasuk satu di anrara larangan di bulan suci Ramadhan. Larangan di sini tidak sampai mengesankan bahwa ajaran Islam itu antiseksual. Al-Qur’an sendiri mengungkap tentang kebutuhan manusia terhadapnya (3:14). Namun Islam tak membiarkan nafsu itu disalurkan secara sembarangan tanpa tara-krama.
Suasana Ramadhan memungkinkan seseorang mendidik diri mengendalikan nafsu seksualnya sesuai kehendak Allah. Dengan ancaman sanksi mengganti puasa dua bulan benturur-turut bagi yang bersetubuh di siang hari, seorang muslim akan berupaya menahan nafsunya sekalipun menggebu-gebu. Bukan hanya kemampuan mengendalikan nafsu yang ia peroleh, tetapi juga meningkatnya keimanan kepada Allah Sebab ketakutan memperoleh sanksi itu bukan dikarenakan adanya kontrol dari Pak Polisi.
Di tempat yang tersebunyipun dan tak seorang manusia pun tahu, ia tetap tak berani melakukan pelanggaran itu. Ia merasa dipantau oleh Allah di manapun berada.
Maka seseorang yang sebulan penuh mampu mengatasi penyebab meluapnya dosa, insya Allah sepanjang ia berpuasa terhindar dari dosa-dosa. Di waktu yang sama ia memperbanyak amal shalih dan istighfar. Bisa diterka manakala dirinya yang dahulu berlumuran dosa, kini relatif bersih dan fitrah Saat itulah hari bahagia. Ia tak lagi terhambat menyongsong anugerah Ilahi berupa hidayatullah (petunjuk Allah). Iapun bensyukur karenanya di hari Lebaran.
---------------
SUARA HIDAYATULLAH, Edisi 11/ TH V/ Maret 1993/ Ramadhan 1413, halaman 2 – 3.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar