Rabu, 15 Juni 2011

MUHAMMAD, AL-QUR’AN DAN REALITAS SOSIAL.

Tulisan : Ahmad Syafii Ma’arif

PERSOALAN mengapa Muhammad, seorang Arab, yang dipilih sebagai Nabi dan Rasul terakhir adalah persoalan yang berada di luar wewenang manusia untuk menjawabnya. Bisa saja kita bertanya mengapa misalnya kita tidak mengenal seorang Nabi dan Rasul dari suku bangsa Jepang, juga bukan otoritas kita untuk memberikan keterangan yang tuntas. Tuhan maha tahu dalam menentukan pilihanNya. Tetapi bahwa al-Qur’an ditulis dan diabadikan dalam bahasa Arab sepenuhnya dapat kita fahami bila dibaca dalam konteks sosio-kultural di mana wahyu terakhir itu diturunkan. Soalnya akan menjadi tidak masuk akal sama sekali bila wahyu yang berisi petunjuk moral dan pedoman hidup manusia diturunkan dalam bahasa lain yang tidak difahami oleh orang yang menjadi sasaran pertama dan wahyu yang disampaikan itu. Oleh karena Muhammad saw seorang Arab, lahir dan hidup serta dibentuk dalam dan oleh lingkungan Arab, maka logislah bila al-Qur’an ditulis dan direkam secara abadi dalam bahasa suku bangsa itu. Jadi bila ada semacam protes dari orang yang bukan berbahasa Arab, maka kita pun tidak mungkin mampu melayani protes itu secara memuaskan.
Keadaan serupa tidak saja berlaku terhadap Muhammad dan al-Qur’an, tetapi juga terhadap semua Rasul yang diberi Kitab Suci dalam bahasa tertentu di mana Kitab itu diturunkan. Tugas kita sebagai Muslim bukanlah untuk mengusut soal-soal semacam ini, tapi adalah untuk memahami kandungan isi alQur’an sebisa mungkin langsung dari bahasa aslinya agar kita menjadi lebih apresiatif dalam menangkap pesan-pesan universal yang datang dari langit itu untuk kebaikan bumi.
Barangkali sebagian kita akan berdalil, bahwa bahasa Arab itu sungguh sukar dan bisa menghabiskan umur untuk mempelajarinya. Mungkin bisa jadi begitu. Tetapi kita balik bertanya: Mengapa kita bersedia bersusah payah dan menghabiskan sebagian usia kita yang berharga untuk mempelajari bahasa atau bahasa-bahasa asing lain, sedangkan bahasa al-Qur’an kita tenlantarkan? Memang lewat terjemahan kita mungkin juga mengerti al-Qur’an, tapi konsep “mengerti” di sini tidak akan sama intensitasnya dengan tingkat pemahaman mereka yang faham bahasa aslinya. Ini juga berlaku untuk semua karya-karya besar selain Kitab-Kitab Suci. Dari perspektif ini kita punya alasan kuat untuk berharap bahwa pada masa-masa yang akan datang umat Islam yang bukan berbahasa Arab akan bersedia menjadikan bahasa al-Qur’an sebagai bahasa kedua sesudah bahasa nasionalnya. Usaha ke arah ini bukanlah usaha yang tidak mungkin karena urgensinya sungguh semakin terasa pada saat-saat proses Islamisasi semakin menjadi kenyataan. Pengajian al-Qur’an secara tradisional yang dijumpai di seluruh tanah air kita dengan tanpa memahami makna perlu ditingkatkan agar menjadi pengajian aktif-kognitif. Apresiasi yang dalam terhadap al-Qur’an hanyalah mungkin bila pesannya berhasil menembus dan menyentuh daerah sadar kita. Tembusan ini akan dapat sangat efektif bila bahasa aslinya kita fahami. Jadi bila kita membaca al-Qur’an sekaligus kita berdialog secara mengerti dan sadar dengan kandungan wahyu. itu. Tesa kita dalam soal ini sangat sederhana. Ia dapat dirasakan dan dialami oleh setiap orang yang pernah mencobanya. Sungguh sebuah pengalaman yang sangat mengesankan dan intens.
Bila kita sebutkan bahwa mereka yang mengerti bahasa Arab akan lebih apresiatif terhadap al-Qur’an, hal ini tidaklah bersifat otomatis. Ini harus dihubungkan dengan usaha yang sungguh dan ikhlas ke arah pernahaman itu. Sebab kenyataan berdiri di depan kita bahwa jutaan orang yang berbahasa Arab tidak tahu menahu tentang al-Qur’an, apalagi akan bersikap apresiatif. Keadaan semacam ini terjadi karena memang tidak pernah berusaha ke arah itu. Dalam konteks ini keluhan Rasulullah sangat relevan kita kutipkan di sini: Berkata Rasul: “Wahai Tuhan, sesungguhnya kaumku telah menelantarkan al-Qur’an ini” (al-Furqan: 30). Ayat ini terasa benar relevansinya dengan kondisi umat Islam pada saat sekarang. alQur’an dibaca tanpa mau bersusah payah menangkap maksudnya. Lebih celaka lagi bila al-Qur’an dikorbankan untuk mendukung suatu tradisi yang diragukan keabsahannya bila ditilik dan diuji dengan citrawi Kitab Suci ini. Fenomena macam ini dapat dilihat di mana-mana dalam masyarakat Islam. Bukankah ini berarti bahwa kita telah menelantarkan alQur’an?
Kembali kepada Muhammad. Muhammad adalah manusia biasa, sekalipun jauh sebelum diangkat menjadi Nabi dan Rasul akhlaknya yang terpuji dan sikapnya yang lembut telah jadi buah bibir penduduk Makkah. Tapi tidak ada bukti bahwa beliau secara sadar bersiap untuk menerima posisi tertinggi itu dan Tuhan. Bahkan menurut al-Qur’an, sebelum diangkat menjadi Rasul, Muhammad tidak tahu-menahu tentang Kitab Suci dan tentang iman. Kemudian wahyu datang menjelaskan semuanya ini. (Lih. surat al-Syura: 52). Jadi tuduhan bahwa Muhammad pernah belajar pada pendeta agama lain ditolak secara kategoris oleh al-Qur’an. Rasul terakhir ini sebenarnya punya watak pemalu dan kurang agresif, hingga al-Qur’an sering memperingatkannya, sebab pelaksanaan wahyu kadang-kadang memerlukan sikap ofensif dan tegas. Sikap terakhir ini agak tidak sesuai dengan kepribadian Muhammad yang lembut dan memancarkan pesan cinta dan kasih sayang. Situasi semacam ini sering menimbulkan ketegangan psikologis dalam diri beliau. Di satu pihak wahyu memberi komando: “Wahai Rasul! Sampaikan apa-apa yang diturunkan dari Tuhan engkau. Dan jika tidak engkau lakukan beranti engkau telah tidak meneruskan risalah-Nya. Dan (engkau harus yakin) Allah akan melindungimu dari (ancaman) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang ingkar” (al-Maidah: 67), Di pihak lain, Muhammad sadar betul akan efek sosial dari wahyu yang disampaikan. Realitas sosial masyarakat suku bisa menjadi goncang dan berantakan. Hubungan suami-istri, hubungan orang tua dan anak bisa terputus karena garis batas antara iman dan kufur harus ditarik secara jelas. Dalam masyarakat suku seperti di Arabia pada waktu itu, hubungan darah begitu dominan, sedangkan wahyu mau menggantinya dengan hubungan iman yang jauh lebih penting dan menentukan. Terang semuanya ini mengundang krisis. Oleh sebab itu dapat difahami bahwa aspek manusiawi Muhammad sampai batas tertentu bukanlah tidak terpengaruh oleh kompleksitas masalahnya. Sayang sekali para mufassirun jarang benar mengungkapkan ketegangan demi ketegangan yang dialami Rasulullah. Seakan-akan beliau selalu bersikap pantang mundur begitu saja. Sebenarnya adanya ketegangan semacam ini menunjukkan betapa besarnya Muhammad sebagai manusia-Rasul. Cobalah ikuti ayat di bawah yang mengancam Rasul karena sikapnya yang kurang agresif. “Boleh jadi engkau akan mengabaikan sebagian wahyu yang diturunkan kepada engkau, dan dadamu menjadi sesak karenanya lantaran mereka (orang Makkah) berkata: Mengapa harta karun tidak diturunkan untuknya atau seorang Malaikat datang bersamanya.” (Hud: 12). Pihak Makkah dengan gaya sinisnya yang tinggi sebenarnya ingin agar Rasulullah mau berkompromi dalam soal-soal prinsip. “Mereka ingin agar engkau bersedia berkompromi, maka mereka pun akan berkompromi.” (Al-Qalam: 9). Tapi ayat berikutnya memperingatkan dengan keras: “Jangan engkau ikuti setiap penyumpah yang lemah-hina itu.” (Al-Qalam: 10).
Rasulullah menghadapi realitas sosial yang kejam dan keras. Politeisme dengan penyembahan berhala begitu kuat dalam masyarakat Makkah, ini bertalian dengan disparitas ekonomi yang akut antara si kaya dan si miskin. Kepercayaan kepada adanya pertanggungjawaban kelak sesudah mati tidak dikenal sebagian besar penduduk Makkah. Maka wahyu datang mengenalkan konsep monoteisme yang tegas di satu sisi dan prinsip keadilan sosial-ekonomi di sisi lain. Surat-surat pendek yang turun di Makkah penuh berisi prinsip-prinsip ini, tapi dilupakan oleh kaum Muslimin selama berabad-abad. Muhammad berjuang mula-mula sendirian, kemudian diikuti oleh Sejumlah pengikut yang terbatas, untuk memproklamasikan prinsip-prinsip tauhid dan keadilan itu di tengah-tengah perlawanan yang sangat gencar, tidak urung dan paman-pamannya sendiri Abu Jahal dan Abu Lahab dan sebagian besar pihak Bani Umayyah. Oleh sebab itu dapat difahami mengapa Rasulullah kadang bersedih hati. Ayat 2 surat Thaha turun melipur Nabi yang sedih itu: “Tidaklah Kami turunkan al-Qur’an kepada engkau agar engkau menjadi susah.”
Observasi kita di atas dengan jelas menunjukkan bahwa bila orang mau bersikap adil dalam mempelajari al-Qur’an, aspek manusiawi Muhammad harus selalu dipertimbangkan. Ketegangan demi ketegangan yang Beliau lalui sebagai penyampai risalah mengandung ajaran yang sangat berharga bagi kita sebagai pengikutnya. Boleh jadi kita tidak berdaya lagi menghadapi satu situasi sejarah saking berat dan sulitnya. Tapi sikap putus asa dan berhenti berjuang tidak akan ada dalam kamus orang beriman. Para Rasul pun tidak sunyi dan masa perjuangan yang melelahkan dan sangat berat. Bahkan hampir-hampir mereka putus asa karena manusia banyak tetap saja membangkang dan menolak kebenaran yang mereka bawa. Surat Yusuf ayat 10 melukikan keadaan ini secara dramatis. “Hingga pada saat para Rasul hampir putus asa dan mengira bahwa mereka tetap saja ditolak, maka (pada saat yang kritis itu) datanglah pertolongan Kami kepada mereka.” Sungguh berat dan berliku-liku perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Mereka yang punya nafas panjang sajalah yang akhirnya diberi kemenangan. Dan kemenangan itu hanyalah mungkin dicapai dengan perjuangan yang gigih dan berencana. Emosi harus senantiasa dikontrol oleh rasio.

Al-Qur’an Siapa Titik Fokusnya?
Al-Qur’an menyebut dirinya dengan berbagai istilah. Beberapa di antaranya adalah sebagai “cahaya” (IV:175), sebagai” sebuah kitab yang gamblang” (V:15); sebagai” sebuah penawar bagi penyakit dalam” (X:57) sebagai ”petunjuk” (II:2), (X:57); sebagai ”kriterium-pembeda” (XXV:1) dan sebagainya. Perhatian utama Al-Qur’an adalah untuk meluruskan orientasi manusia yang akan membawa mereka kepada kebenaran. Dari sudut pandangan ini, sekalipun istilah Allah, nama yang tepat bagi Tuhan, dijumpai lebih dan 2500 kali dalam al-Qur’an (belum lagi dihitung perkataan Ar-Rabb, Ar-Rahman dan lain-lain, Kitab Suci ini sepenuhnya berorientasi untuk kepentingan manusia, sebagaimana ditegaskan oleh F,Rahman, Atau untuk meminjam ungkapan lqbal: ”Maksud utama al-Qur’an adalah untuk membangkitkan kesadaran yang lebih tinggi dalam diri manusia akan hubungan gandanya dengan Tuhan dan alam semesta” Muhammad Abduh, sebagaimana direkam oleh Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar menegaskan, bahwa al-Qur’an akan tetap merupakan hujjah (bukti atau argumen yang kuat) terhadap setiap individu dan umat manusia sampai Hari Kebangkitan. Abduh mendasarkan pendapatnya atas sebuah hadits: “Al-Qur’an adalah sebuah hujjah untukmu atau untuk melawanmu.”
Pesan al-Qur’an “seluruhnya berorientasi kepada hal-hal yang praktis: memberi petunjuk kepada manusia! Dengan nafas yang sama iqbal mengatakan: “al-Quran adalah sebuah Kitab yang memberi tekanan lebih atas amal perbuatan daripada ide gagasan.” Dilihat dari sudut pandangan ini, ilmu kalam skolastik yang banyak diilhami oleh fikiran Yunani kuno, sekalipun meluaskan cakrawala pandangan para pemikir Muslim, Ia “telah mengaburkan visi mereka tentang al-Qur’an.” sebagaimana lqbal menyimpulkan. Al-Qur’an hampir-hampir tidak tertarik pada masalah teologi spekulatif murni.” suatu perbincangan yang menguasai banyak para pemikir dan juris Muslim abad pertengahan. Reaksi lbn Rushd melawan fikiran al-Ghazali yang menolak filsafat adalah satu di antara sekian contoh betapa berlarutnya para pemikir Muslim itu dalam pengembaraan spekulatif. Juga pendapat para filosuf Muslim tentang cerita hari berbangkit dari al-Qur’an yang katanya hanyalah untuk orang-orang awam. Bila kemudian datang lbn Taimiyah menyerang fikiran-fikiran macam ini dapatlah difahami. Tapi hendaklah dicatat bahwa lbn Taimiyah membantah pendapat para filosuf itu setelah mempelajari secara dalam. Jadi bukan sebagai sikap kaum Wahhabi yang menolak apa yang berbau ritelektualisme, hingga arti ijtihad yang mereka bela menjadi hilang sama sekali.
Sebagai petunjuk bagi manusia, al-Qur’an mensuplai sebuah dasar moral yang kokoh dan tidak berubah untuk kepentingan manusia. al-Our an, untuk mengutp Muhammad Asad, memberikan sebuah jawaban komprehensif terhadap pertanyaan: ”Bagaimana saya seharusnya bertingkah agar mencapai kehidupan yang baik di dunia ini dan kebahagiaan kelak di akhirat.” Menurut Al-Qur’an, hidup baik di sini dan kini merupakan pra-syarat untuk hidup bahagia nanti dan di sana.,” Barang siapa buta di sini, akan menjadi buta pula di akhirat, dan bahkan akan lebih sangsara dan tersesat lagi. (XV!l: 72). Oleh sebab itu al-Qur’an “merupakan manifestasi terakhir dari rahmat Tuhan untuk manusia, kebijaksanaan dan kecantikan tertinggi singkatnya, Kalam Tuhan yang benar” penegasan Muhammad Asad.


Penutup
Dari uraian di atas menjadi teranglah bagi kita bahwa titik pusat perhatian Al-Qur’an adalah manusia dan nasibnya di dunia ini. Kitab ini diturunkan semata-mata untuk kebahagiaan manusia yang mempercayainya tanpa kecuali. Tapi mengapa pemeluk yang mengaku beriman tidak kunjung juga merasakan bahagia? Dalam perlombaan hidup dunia mereka menjadi umat terkebelakang dan bodoh. Mari kita tilik dan kita masing-masing dengan berkonsultasi kepada al-Qur’an. Mutu iman dan intensitas pemahaman kita terhadap al-Qur’an wajib kita pertanyakan trus menerus. Al-Qur’an bukan sebuah Kitab untuk difahami oleh sekelompok elit utama atau sarjana tertentu saja. Pa diperuntukkan untuk manusia seluruhnya. Oleh sebab itu Kitab Suci ini perlu dibawa turun ke bumi kembali, setelah ia bertakhta di permukaan hati kita. Barangkali di sini kita akan menemukan obat penawar untuk bangkit kembali dengan al-Qur’an dengan bantuan sunnah yang otentik sebagai Pandasan berfikir dan bertindak. Dengan begitu ungkapan “kembali kepada al-Qur’an “ punya arti yang dinamis dan kreatif.

ISLAM, KENAPA TIDAK! ; Ahmad Syafii Ma’arif; Penerbit Shalahuddin Press, cetakan kedua September 1985, halaman 17 - 30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar