"Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj (85) : 8)

Selasa, 30 September 2014

Motif Asem khas Semarang

Setelah menghasilkan karya batik pertamaku, petualangan membatikku dilanjutkan dengan membuatkan baju batik untuk temanku. Kebetulan ketika suatu hari kami mengadakan perjalanan dia menunjukkan sebuah baju batik gaya Semarangan, motif Asem. Dan untungnya dia pasrahkan soal desain motif kepadaku, yang penting warna background baju hitam.

Praktek Membatik
Pertama; menyiapkan kain batik dari jenis mori primisima dengan ukuran 200 cm x 115 cm.
Kedua; membuat pola (nyorek atau mola). Proses ini adalah menggambar motif dasar dan pola batik tulis diatas kain dengan menggunakan pensil ataupun arang kayu.
Ketiga; Soletan (nyolong warna) yang kontras dengan menggunakan warna Remasol, karena dalam batik tradisional itu dikenal permainan gradasi warna.
Keempat; setelah mendiamkan warna soletan minimal 1 x 24 jam, dilanjutkan dengan fiksasi (penguncian warna Remasol) dengan waterglass yang perbandingannya 1 kilogram waterglass dicampurkan air 1 liter.
Kelima; setelah didiamkan dalam ruangan teduh dan kondisi media yang difiksasi sudah tidak lengket maka lakukan pencucian dengan air.
Keenam; setelah kain kering dari diangin-angin dalam ruang teduh, bidang pola atau warna yang telah disolet menjadi hasil yang diinginkan maka bidang pola atau warna tadi siap ditemboki (proses mbironi) dengan menggunakan lilin.
Ketujuh; pewarnaan background dengan menggunakan Remasol warna hitam. Caranya ; menyiapkan satu ember air bersih untuk pencucian kain secara merata; masukkan kain ke dalam ember lain yang sudah dilarutkan warna Remasol tiris angin-anginkan hingga kering; 
Kedelapan; setelah mendiamkan celupan warna hitam Remasol minimal 1 x 24 jam, dilanjutkan dengan fiksasi (penguncian warna Remasol) dengan waterglass yang perbandingannya 1 kilogram waterglass dicampurkan air 1 liter.
Kesembilan; proses nglorot (pesisiran) / ngebyok (Jogja/Solo), yaitu proses menghilangkan malam (lilin batik) pada kain dengan merebus kain dalam campuran air dan soda abu mendidih, kemudian membilasnya dengan air dingin.

Bagi Orang Yang Baru Datang Dari Bepergian Sunnat Pergi Ke Masjid Dan Sholat Dua Raka’at

Ka’ab bin Malik r.a. berkata : Biasa Nabi s.a.w. jika tiba dari bepergian mendahulukan masuk ke masjid dan sholat dua raka’at di dalamnya. (HR. Buchary dan Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 120.

Ampunan Dosa

"Kami (Allah) pasti akan menguji kamu dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan hasil kekayaan, kehilangan jiwa (kematian) dan kekurangan makanan. Dan sampaikanlah kabar gembira pada orang-orang yang bersabar." (TQS. Al-Baqarah (2) : 155).

Dan dalam Tarjamah Riadhus-Shalihin 1 karya Salim Bahreisy, halaman 52. Rasulullah ﷺ bersabda : "Sangat mengagumkan keadaan seorang mukmin, sebab segala keadaannya untuk ia sangat baik, dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi seorang mukmin. Jika mendapat nikmat ia bersyukur, maka syukur itu lebih baik baginya, dan bila menderita kesusahan sabar, maka kesabaran itu lebih baik baginya." (HR. Muslim).

Di lain kesempatan dalam Tarjamah Riadhus-Shalihin1 karya Salim Bahreisy, halaman 63-64. Rasulullah ﷺ mengabarkan janji Alla ta'ala kepada seorang mukmin : "Tiada seorang Muslim yang menderita kelelahan atau penyakit atau kesusahan (kerisauan) hati, bahkan gangguan yang berupa duri melainkan semua kejadian itu akan berupa penebus dosanya." (HR. Buchary dan Muslim).

Sungguh Allah bersedia menjadikan kelelahan, penyakit, kesusahan hati dan gangguan duri sebagai penebus dosanya, asalkan disambut dengan jiwa iman dan kesabaran.
Semoga Allah ta'ala mengampuni kebodohan-kebodohan kita dalam berbuat dosa dan maksiat di masa lalu dan terus membesarkan jiwa penuh iman dan menguatkan kesabaran kita, serta menutup rapat-rapat pintu-pintu maksiat di depan kita.
------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN I, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1978, halaman 52 dan 63-64.

Senin, 29 September 2014

Bacaan Yang Harus Dibaca Jika Melihat Negerinya

Anas r.a. berkata : Kami kembali bersama Nabi s.a.w. dan ketika kami telah melihat kota Madinah, Nabi s.a.w. berkata : AAYIBUNA TA’IBUNA ABIDUNA LIROBBINA HAMIDUNA. (Kami kembali bertobat dan beribadat serta tetap memuji kepada Tuhan) terus dibacanya hingga masuk kota Madinah. (HR. Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 119.

Ijtihad Umar bin Khattab (11)

Umar Berusaha Melawan Kelemahan dalam Jiwanya dan Jiwa Umat
Tentu sudah kita lihat juga, bahwa dalam ijtihadnya itu Umar terbilang orang paling keras dan tegas di samping apa yang sudah ketahui sikapnya yang begitu lemah lembut terhadap kaum duafa. Juga ketegasan sikapnya itu terhadap kaum “mualaf,” dan terhadap mereka yang menjatuhkan talak tiga dengan satu ucapan, para peminum khamar, mereka yang banyak membawa-bawa sumber hadis dan terhadap pasukan Muslimin atas rampasan perang yang mereka peroleh di Irak dan Syam. Keadilannya yang begitu ketat sudah menjadi bawaannya dalam memutuskan perkara, dan dalam mempersamakan lawan berperkara di depan hukum sekalipun status mereka jauh berbeda di mata orang. Tongkat kecil yang dibawa-bawanya merupakan salah satu lambang ketegasannya itu, yang tak pernah ditinggalkannya meskipun dalam soal-soal yang tak ada hubungannya dengan tugas tanggung jawabnya.
Suatu malam ketika ia mengadakan inspeksi ia mendengar suara perempuan bersenandung tentang khamar dan ketampanan Nasr bin Hajjaj.
Paginya ia bertanya-tanya siapa Nasr itu dan menyuruh orang mencarinya. Setelah orang itu dibawa ternyata ia memang berwajah tampan dan rambutnya indah sekali. Sesudah ia memotong rambutnya seperti yang dimintanya dan dahinya terlihat tampak ia makin tampan. Ia diminta mengenakan serban, dan itu pun dilakukannya, tetapi bertambah tampan juga. Tidak! kata Umar, demi Allah, jangan ini terjadi di kota tempat aku berada! Umar memerintahkan orang itu ke tempat yang lebih baik buat dia dan ia dimintanya pergi ke Basrah. Nasr memang tidak berdosa sampai ia diasingkan dari kota itu. Tetapi maksud Umar, di kota Rasul ini jangan ada perempuan-perempuan yang tergoda karenanya.
Saat mengadakan inspeksi suatu malam Umar mendengar perempuan-perempuan berkata : Siapa di antara penduduk Medinah yang paling tampan? Salah seorang dari mereka berkata : Abu Zi’b (nama orang, harfiah berarti “pak serigala”). Setelah orang itu didatangkan dan dilihatnya laki-laki itu memang paling tampan, kata Umar kepadanya : Rupanya Anda ini menjadi serigala perempuan-perempuan itu, katanya dua atau tiga kali. Kemudian katanya : Demi Allah, jangan ini terjadi di kota tempat aku berada! Abu Zi’b berkata : Kalau saya harus pergi juga tempatkan saya di tempat sepupu saya —maksudnya Nasr bin Hajjaj. Umar memerintahkan orang itu ke tempat yang lebih baik buat dia dan ia diminta pergi ke Basrah.
Sebenarnya Umar bertindak begitu keras dan tegas karena ia ingin mengikis segala kelemahan yang ada dalam jiwa orang-orang Arab, yang memberi peluang berkuasanya hawa nafsu. Kekuatan itulah yang menjadi jiwa dan hakikat Islam. Bila orang dapat menguasai kekuatan itu untuk melawan segala nafsu dan bisikan jahat dalam dirinya, itulah yang akan mencabut segala kelemahan dari jiwa suatu umat, dan yang mampu menghadapi setiap serangan yang datang hendak menggoda keyakinannya. Jiwa inilah yang mengharuskan umat Islam bersikap lemah lembut terhadap kaum yang lemah dan meninggalkan sikap lemah lembut demikian merupakan dosa besar. Yang dimaksud dengan sikap lemah lembut ialah berusaha mengatasi segala kelemahan mereka supaya jangan terjerumus ke dalam kemiskinan, kebodohan atau penyakit yang akan membuat mereka bertambah lemah, dan yang akan mengantarkan orang kepada rasa hina dan tunduk selain kepada Allah. Kalau kelemahan ini sudah dapat diatasi mereka akan menjadi manusia yang sehat, punya harga diri dan akan merupakan suatu kekuatan bagi anggota masyarakat itu.
Umar adalah orang yang paling mampu menyadari adanya kekuatan Islam ini, dan yang paling baik pengetahuannya atas segala faktor kehidupan yang akan membawa kelemahan jiwa itu. Oleh karenanya, ia besar sekali hasratnya hendak melawan faktor-faktor itu. Sebenarnya jiwa manusia itu selalu gelisah ingin mengejar martabat yang lebih tinggi dan dalam pada itu bersiap-siap merosot turun di tengah-tengah berbagai faktor yang keseringannya berada di luar kemampuannya. Kemerosotan ini paling mudah, dan lebih banyak menarik. Kebalikannya. untuk mencapai martabat yang lebih tinggi, memerlukan suatu perjuangan batin yang berat supaya ia tidak terjerat ke dalam perangkap yang banyak dipasang oleh liku-liku kehidupan yang memang sudah menjadi bawaannya dan menjadi salah satu syarat untuk kelangsungan hidupnya. yang kemudian dihiasi pula dengan segala yang akan menggiurkan nafsu dan keinginannya. Manusia memang mudah tergoda untuk menghiasi perangkap itu dan akan membuatnya makin menarik.
Dalam perangkap yang sudah dihiasi ini orang sering melihat segala kemewahan dan kemapanan hidup. Dalam hal ini mereka berbeda dengan hewan. Manusia dan hewan sama-sama memerlukan makan dan minum untuk mempertahankan hidupnya serta untuk melestarikan keturunan. Hewan memerlukan makan dan minum seperlunya sekadar dapat bertahan hidup, dan hubungan jantan dan betinanya tak lebih dari sekadar mendapatkan keturunan. Tetapi manusia melihat dalam makan, minum dan cinta itu suatu kesenangan yang sangat menggiurkan dan cepat-cepat memburunya, kemudian ia memperoleh hasil atas jerih payahnya itu. Untuk kesenangan ini ia mencari segala cara dan sarana yang tak pernah ada pada naluri makhluk lain.

Ia Cenderung Keras dan Bersih dalam Ijtihadnya

Manusia makin tertarik pada kesenangan ini dan ingin menangguknya setiap kelompoknya makin jauh terperangkap ke dalam kemerosotan Tetapi kelompok yang muda-muda, ia ingin bersih dari segala noda godaan itu. Kebersihan diri demikian ini akan dijadikan sarana untuk mencapai kekuatan dan martabat yang lebih tinggi. Kebersihan diri demikian inilah yang dianjurkan oleh Islam. Dalam hal ini Rasulullah adalah teladan yang terbaik bagi kaum Muslimin, yang kemudian dipraktekkan pula oleh Abu Bakr dan Umar untuk menanamkannya lebih kuat ke dalam hati umat agar iman itu benar-benar tumbuh dalam lubuk sanubari mereka. Oleh karenanya, didorong oleh kekuatan rohani dalam kebersihan diri itu kekuatan iman mereka kepada Allah berlipat ganda, yang membuat mereka kemudian dapat menerobos perbatasan Persia dan Rumawi, dan menyapu bersih kekuasaan mereka, kedaulatan mereka pun terkikis habis sehingga tak dapat bangkit lagi.
Kebersihan diri ini merupakan tujuan Umar dalam ijtihadnya. Kita telah melihat, ia menerapkan hal itu ke dalam dirinya sendiri begitu ketat. Demikian juga kaum Muslimin secara keseluruhan, telah memperoleh kemajuan yang tidak sedikit berkat ketegasan Umar. Ia telah memperlihatkan sikap yang tegas dalam membuat perhitungan dengan para pejabatnya serta bertindak keras terhadap mereka yang hidup semau sendiri, bertingkah laku tak senonoh. Tetapi berhagai peristiwa dalam hidup ini memang sering menyertai tujuan para pemimpin pembaruan. Usaha mereka dalam mewujudkan tujuan itu sering dikacau oleh berbagai macam gangguan. Kadang hal itu memaksa mereka untuk melampaui yang dituju dalam ijtihad mereka itu. Soalnya karena adanya hidup mulia dan hidup nista yang bergantian dalam watak manusia. Faktor-faktor kedua sifat yang saling berdampingan begitu dekat dalam jiwa pribadi dan jiwa masyarakat itu saling bersaing dan tarik-menarik. Orang sering tertipu karenanya, mengira unsur-unsur kelemahan yang dianutnya itulah kekuatan, dan unsur-unsur kenistaan yang diambilnya itulah kemuliaan. Bahkan semua unsur dan motivasi itu saling terjalin demikian rupa sehingga pendapat dan ijtihad itu menjadi sesat dan kacau. Kita sudah melihat Abu Bakr memerintahkan untuk menyamaratakan pembagian hasil rampasan perang di kalangan Muslimin. Tetapi sesudah Umar menggantikannya dan rampasan perang Persia dan Rumawi begitu melimpah ia membentuk sebuah badan dan pemberian itu tidak lagi disamakan. Kemudian setelah melihat pengaruh tindakannya itu, ia meninjaunya kembali. Dia yakin apa yang sudah dilakukan Abu Bakr lebih baik, dan dia bermaksud hendak kembali ke cara itu, tetapi sebelum ia melangkah ke sana ajal sudah mendahuluinya.

Ijtihad yang Telah Membentuk Kekuatan Muslimin
Tetapi Umar tidak salah. Melimpahnya harta kekayaan dari Persia dan dari Rumawi ke Semenanjung itu akan menutupi hati kebanyakan orang dari keinginan Umar agar mereka berbersih diri. Tak banyak orang yang mampu menyaring unsur-unsur kemuliaan dalam dirinya itu dari segala noda yang akan mencemarinya, tidak banyak mereka yang dapat terangkat dari kebersihan hati itu ke tingkat yang terlindung dari perbuatan salah dan dosa. Perbuatan salah dan dosa ini sudah menjadi watak manusia, dengan adanya nafsu yang akan mendorongnya ke sana, yaitu naluri yang ada pada diri kita untuk mempertahankan hidup dan spesies. Berbersih diri itu menggambarkan kepada kita batas-batas antara dosa dengan pahala, antara yang baik dengan yang jahat, dan mengajak kita kepada segala yang berguna buat kita, dan tidak sampai melampauinya ke batas yang membahayakan. Dosa dan pahala, yang baik dan yang jahat, yang berguna dan yang berbahaya, acapkali tercampur baur satu sama lain, seperti emas dan logam mulia lainnya dengan batu-batu karang dan logam rendah. Jika kita hendak menyaring logam mulia menjadi murni, kita harus melebur campuran ini demikian rupa, yang justru kadang merusak intinya yang baik jika jumlahnya lebih kecil dibandingkan dengan pencampurnya. Kadang proses peleburan itu sendiri yang menjadi penyebab kerusakan kalau tidak ditangani dengan bijak dan berhati-hati.
Sudah tentu Umar sangat bijak dan sangat berhati-hati dalam ijtihad dan seruannya agar orang berbersih diri. Pangkal segala kebijakannya itu karena ia sangat mematuhi jiwa Islam seperti yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya dengan sungguh-sungguh, dan dia mengenal betul jiwa itu. Oleh karenanya ijtihadnya itu telah mengangkat kaum Muslimin ke tingkat yang dapat mendatangkan mukjizat dalam membangun Kedaulatan Islam.
Dan sejarah yang dapat kita lihat tentang Napoleon, hukum perdata yang dibuat pada masanya dan dia sendiri ikut dalam pembuatan itu, buat dia lebih membanggakan daripada pertempuran-pertempuran besar yang pemah dimenangkannya dan membuka pintu Eropa sampai mengantarkannya ke Moskow. Dapatkah kita mengatakan demikian juga tentang Umar? Dapatkah kita katakan bahwa dia lebih membanggakan ijtihadnya itu daripada kemenangan-kemenangan yang diperolehnya pada masanya? Sebelum menjawab pertanyaan ini kita harus dapat membedakan antara imperium yang melandasi Napoleon dengan imperium yang melandasi Umar. Yang pertama sudah lenyap sementara Napoleon masih hidup, sedang yang kedua tetap menjadi warisan umat Islam berabad-abad, generasi demi generasi dan keluarga demi keluarga. Sungguhpun begitu, sekiranya Umar adalah orang yang akan dibanggakan, maka kebanggaan itu kebanyakan terletak pada ijtihadnya. Ijtihad inilah yang telah membangun kedaulatan Islam, dan itulah pula yang dapat bertahan sepanjang sejarah.
Tetapi ijtihad dan kedaulatan ini telah membuat Umar benar-benar terperas dan letih. Kalaupun dengan kedua beban itu ia telah dapat menegakkan baja yang kukuh, keduanya itu telah mengantarkannya kepada doanya kepada Tuhan agar ia diterima di sisi-Nya. Kedua peninggalannya ini telah menyelamatkan bangsa-bangsa yang sudah dibebaskan oleh Muslimin. Kemudian terbunuhnya pun termasuk salah satu dari kedua peninggalannya itu.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 710-715.

Minggu, 28 September 2014

Jimba

Manga Gensō Suikoden III - The Successor of Fate. Jimba (Tenfu Star) adalah nama yang digunakan oleh Wyatt Lightfellow sementara bersembunyi di Karaya. Wyatt memiliki pengganti True Water Rune. Hal ini menyebabkan Kerajaan Suci Harmonia mencoba melacaknya dengan mengirimkan agen pembunuh Harmonian dan agen Howling Voice Guild. Untuk menghindari agen, ia menyembunyikan diri dan membangun keluarga Lightfellow di Vinay Del Zexay. Di sana, ia bertemu dan jatuh cinta dengan Anna Lightfellow, dan segera Chris lahir.
Namun, itu setelah terlacak jejaknya oleh agen, ia segera meninggalkan keluarganya di Vinay Del Zexay, kemudian Wyatt melarikan diri ke Karaya Village di Grasslands dan merubah nama menjadi Jimba. Jati dirinya hanya diketahui oleh  Lucia.
Di sana ia tinggal, terpisah dari keluarganya, sampai Chris membuat perjalanan ke Grasslands. Dan ia bertemu dengan Chris di Iksay Village sebagai musuh, karena dia tidak tahu identitasnya. Saat di Cyndar Ruins untuk membuka segel True Water Rune, Jenderal Bertopeng mencoba mengambil Rune miliknya. Dengan kekuaan True Wind Rune yang dimiliki Jenderal Bertopeng dipecahkannya nadi-nadi dalam tubuh Jimba dengan mengatur tekanan udara dalam tubuhnya. Sebelum kematianya True Water Rune berpindah kepada putrinya dengan segenap kesadaran Chris Lightfellow demi mencegah ledakan True Water Rune yang saat itu sudah tak bertuan. (sumber Suikosource dan Manga Gensō Suikoden III - The Successor of Fate 1 karya Aki Shimizu, Kadokawa Corporation, Tokyo Japan 2002).

Sunnat Datang Kepada Keluarganya Siang Dan Makruh Pada Waktu Malam (2)

Anas r.a. berkata : Adanya Rasulullah s.a.w. tidak biasa mengetuk pintu keluarganya pada waktu malam, dan selalu mendatangi mereka pagi atau sore hari. (HR. Buchary dan Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 118.

Sabtu, 27 September 2014

Sunnat Datang Kepada Keluarganya Siang Dan Makruh Pada Waktu Malam (1)

Jabir r.a. berkata : Rasulullah s.a.w. bersabda : Jika telah lama kamu berpisah dengan keluarganya, maka jangan mengetuk pintunya di waktu malam. Dalam lain riwayat : Rasulullah s.a.w. melarang orang mengetuk keluarganya pada waktu malam. (HR. Buchary dan Muslim).

Khawatir kalau ia mendapatkan keluarga dalam kadaan yang tidak menyenangkan hingga menimbulkan kurang baik hubungannya.
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 118.

Misteri di Bathroom

Horor Bathroom
SUIKODEN 2. Sebuah game yang tidak asing bagi seorang gamers RPG sejati, karena game ini pernah mendapatkan award "The Best Seller", dan storyline-nya sangat TOP abis, sehingga banyak menarik para gamer. Kali ini aku pengen membahas tentang beberapa rahasia yang terdapat di Suikoden 2, khususnya tentang "Bathroom".
Apakah sobat masih ingat tulisan-ku yang lalu tentang Wakaba dan L.C. Chan yang melompat-lompat dikamar mandi? Ini beberapa perlakuan yang mesti dipenuhi untuk mendapatkan efek-efek tertentu yang saya maksud. Saya akan memberitahu anda cara biar anda dapat mengalaminya.
  • Tempatkan  6 Persian Lamps di bathroom, maka saksikan kemunculan jin di bathroom.
  • Tempatkan 6 Hex Dolls dan 2 Graffiti di dinding bathroom, maka saksikan air bak mandi berubah warna merah dengan 6 Hex Dolls kalian akan bersinar matanya dan graffiti kalian akan menangis darah, 85% berubah HORROR
  • Tempatkan 6 Blue Dragon Urn dan 2 Lanscape Painting, maka Naga yang ada di Dragon Ball tiba-tiba akan memenuhi bathroom
  • Tempatkan 3 Goddess Statues (Women's side) dan 3 Knight Statues (Men's side) lihatlah mereka akan saling membuang muka. 
  • Tempatkan 6 Vases dan 2 Flower Painting di bathroom, maka lihatlah Pot itu mekar dengan sendirinya. 
Dragon Ball Bathroom
Masih ingat cara merekrut Tetsu (Chiyu Star)? Cobalah pergilah ke Lakewest Town di deretan rumah kedua dari pantai di utara kota, pastikan kamu telah memiliki item Fried Tacos seharga 170 potch yang bisa kamu beli di Item Shop Two River City Kabupaten Kobold. Bicaralah dulu dengannya di dalam rumah lalu gunakan Fried Tacos pada Hero atau gunakan sisanya pada kelompokmu lalu bicara lagi dengannya dan dia dan dia akan bergabung.
Setelah merekrut Tetsu, kamu dapat mengetahui level istanamu dengan melihat model sauna di istanamu. Semakin banyak kamu mengumpulkan Star of Destiny semakin kamu tahu berapa karakter yang telah kamu rekrut.
Berikut adalah perubahan sauna di Istanamu :
  • Tingkat 1 (1-30 karakter): Drum Can Bath
  • Tingkat 2 (31-60 karakter): Cypress Bath
  • Tingkat 3 (61-100 karakter): Marble Bath
  • Tingkat 4 (100 + karakter): Jungle Baths
  • Tingkat 5 (telah terkumpul 108 Star of Desteny ditambah 4 squirrel lainnya (temannya Mukumuku) dan kamu sering mandi di saunamu waktu level 4 kurang lebih 20 kali) : Open-Air Bath

Jumat, 26 September 2014

Sunnat Jika Selesai Hajatnya Segera Kembali Kepada Keluarga

Abu Hurairah r.a. berkata : Rasulullah s.a.w. bersabda : Bepergian itu adalah sebagian dari siksa, orang terpaksa mengurangi makan minum dan tidurnya. Sebab itu jika telah selesai hajatnya harus segera kembali kepada keluarganya. (HR. Buchary dan Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 117.

Kamis, 25 September 2014

Lucia

Manga Gensō Suikoden III - The Successor of Fate. Lucia (Teni Star) adalah putri dari Kianu, yang dibunuh oleh Gorudo dan Alec Wisemail, menyebabkan Lucia menjadi kepala suku Karaya. Dia bergabung dengan pasukan Jowy Atreides dengan perjanjian suku Karaya akan diberikan tanah. Dia juga ingin membalas dendam terhadap orang-orang yang membunuh ayahnya.
Dia adalah seorang prajurit sengit (dalam cerita Suikoden 2) dan pernah sekali mencoba membunuh Hero Genkaku dengan menyelinap ke istana. Dia melindungi Jowy Atreides sampai akhir, tetapi mundur setelah dikalahkan Hero Genkaku di L'Renouille. Kemudian, setelah Teresa Wisemail menjelaskan kejahatan publik ayahnya, Lucia memaafkan Greenhill atas kematian ayahnya.
Segera setelah Perang Dunan Unifikasi selesai, Lucia melahirkan anaknya yang bernama Hugo dari seorang ayah yang tidak disebutkan namanya. Sebagai ibu, ia mudah melupakan kekonyolan Hugo anaknya yang kabur dari rumah (setelah tragedi pembakaran desanya untuk mencari sang pelaku), ketika dengan gagah beraninya Hugo melindungi desa Chisha. Dalam Second Fire Bringer War, dia dibantu suku Lizard dalam memerangi Zexen, dan bergabung dengan Fire Bringer. Setelah itu, ia mengundurkan diri sebagai kepala suku, setelah Hugo anaknya dinobatkan jadi Pahlawan Api yang baru, dan perjalanannya ke Dunan sebagai upaya Karaya masa depan yang lebih baik. (sumber Suikosource dan Manga Gensō Suikoden III - The Successor of Fate 1 karya Aki Shimizu, Kadokawa Corporation, Tokyo Japan 2002).

Jika Berkhemah Dan Turun Berhenti Pada Suatu Tempat (2)

Ibn Umar r.a. berkata : Adanya Rasulullah s.a.w. jika dalam bepergian dan tiba waktu malam membaca : YA ARDLU ROBBI WA ROBBUKILLAH, ‘AUDZU BILLAHI MIN SYARRIKI WA SYARRI MA FIKI WA SYARRI MA KHULIQO FIKI WA SYARRI MA YADUBBU ALAIKI, WA ‘AUDZU BIKI MIN SYARRI ASADIN WA ASWADA WA MINAL HAYYATI WAL ‘AQROBI WAMIN SAKINIL BALADI WAMIN WALIDIN WAMA WALADA. (Hai bumi Tuhanku dan Tuhanmu yaitu Allah, saya berlindung dengan Allah dari bahayamu dan bahaya yang ada di dalammu, dan bahaya yang dijadikan padamu dan bahaya yang melata di atasmu. Dan saya berlindung dari bahaya singa dan manusia, dan ular dan kala, dan dari bahaya jin dan dari bahaya yang beranak dan yang dilahirkan. (HR. Abu Dawud).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 116.

Ijtihad Umar bin Khattab (10)

Persamaan di Depan Hukum
Dari antara prinsip-prinsip yang sudah dibuat oleh Umar itu yang sampai sekarang di kebanyakan negara yang sudah maju masih tetap berlaku ialah prinsip persamaan di depan hukum. Dia menulis hal itu kepada Abu Musa al-Asy’ari dan hakim-hakim yang lain seperti yang sudah kita lihat, dan dia sendiri melaksanakannya dengan sangat teliti sekali. Di atas sudah kami sebutkan beberapa contoh yang sudah dipraktekkannya.
Dalam hal ini contoh yang cukup menonjol kasus Jabalah bin al-Aiham al-Gassani. Sejalan dengan cerita ini ialah yang telah terjadi ketika ada orang Yahudi mengadukan Ali bin Abi Talib kepada Umar, sedang kedudukan Ali terhadap Nabi di mata kaum Muslimin umumnya sudah sama-sama kita ketahui. Tetapi ia berkata kepada Ali : Abul Hasan, duduklah berhadapan dengan lawanmu itu. Atau berkata : Perlakukan samalah lawan Anda itu. Ali menyamakan dirinya dan duduk berhadapan dengan lawannya itu dengan menampakkan muka kesal. Sesudah perkaranya selesai Umar berkata : Ali, rupanya Anda tidak senang duduk berhadapan dengan lawan Anda? Setelah itu ada sumber yang menyebutkan bahwa Ali menjawab : “Tidak! Tetapi saya tidak senang karena Anda tidak mempersamakan ketika Anda memanggil saya dengan Abul Hasan.” Maksudnya sebutan itu memperlihatkan penghormatan kepadanya. Kata-kata Ali ini tidak menafikan bahwa Umar sangat menjaga adanya persamaan semua orang di depan hukum, dan dia melihat bahwa persamaan ini merupakan syarat keadilan yang pertama, lepas dari soal penilaian hakim sendiri suka atau tidak suka terhadap salah satu pihak yang berperkara.
Pengaruh persamaan ini dan masuknya perasaan lega dalam hati orang yang berselisih dapat kita lihat dalam dialog yang dibawakan oleh Ibn Tabataba dalam bukunya al-Fakhri fil Adäh a.s-Sultaniyah ketika Umar berkata kepada seorang laki-laki : Aku mencintaimu. Orang itu bertanya : Lalu ada hak saya yang akan Anda kurangi? Tidak, kata Umar. Orang itu berkata lagi : Yang menyukai cinta begini hanya kaum perempuan.
Mungkin kita masih akan mengira bahwa prinsip persamaan di depan undang-undang itu bukan suatu ijtihad dalam hukum (yurisprudensi), dan menyebutkan hal ini dalam membicarakan ijtihad Umar merupakan hal yang tidak perlu. Sebenarnya itu adalah suatu ijtihad yang luar biasa, dan sampai sekarang masih banyak di antara bangsa-bangsa yang berusaha hendak mewujudkan prinsip ini, yang pada bangsa-bangsa lain baru terwujud pada waktu-waktu belakang ini saja. Rasanya cukup kalau saya sebutkan beberapa keistimewaan yang diberikan kepada orang-orang asing dalam legislasi dan hukum dalam Imperium Usmani sampai waktu belakangan ini, dan apa yang masih berlaku di Mesir sampai akhirnya habis samasekali —agar dapat kita lihat apa yang dilakukan Umar itu sepenuhnya adalah yurisprudensi, dan sepenuhnya ijtihad. Jika di samping itu kita sebutkan beberapa revolusi yang terjadi di Eropa, dalam abad ke-18 dan ke-19, tak lain tujuan pertamanva adalah hendak mewujudkan adanya persamaan di mata undang-undang dan di pengadilan, dan bahwa prinsip persamaan itu merupakan prinsip pertama yang ditetapkan oleh revolusi Prancis dan diperkuat oleh piagam hak asasi manusia. Tentu kita sudah tidak ragu lagi bahwa prinsip inilah yang diusahakan oleh Umar dari dasar hukum Islam itu. Dan Umar memang sudah menghadapi perkembangan orang-orang Arab dan keadaan kesukuan di pedalaman yang memang sudah tidak lagi mengenal administrasi pemerintahan dan pengadilan masyarakat, kepada keadaan madani serta sistem Islam yang berdiri di atas dasar persamaan di depan undang-undang dan di depan pihak yang melaksanakan undang-undang itu.

Yang Tak Terdapat Nasnya dalam Qur’an Umar Berijtihad Sendiri
Perkembangan baru dalam kehidupan orang Arab yang termasuk dasar hukum yang dihadapi Umar ialah ijtihadnya dalam menguraikan segala yang tidak terdapat nasnya yang jelas dalam Qur’an. Qur’an sudah menentukan suatu sistem waris yang tak pernah dikenal sebelum Islam, dan bagi yang mendapat waris sudah ditentukan pula haknya. Tetapi perinciannya dalam nas itu tidak diuraikan. Kita sudah melihat sikap Abu Bakr mengenai warisan nenek dari pihak ibu. Ada beberapa soal lain yang diajukan kepada Umar yang tidak terdapat nasnya dalam Qur’an ataupun dalam sunah, tetapi harus dipecahkan dengan jalan ijtihad berdasarkan pendapat dan pikiran, di antaranya ialah masalah yang terkenal dengan sebutan al-masalah al-umuriyah atau al-masalah al-hajriyah yang memperoleh bagian adalah saudara laki-laki pewaris dari pihak ibu, sedang saudara kandung pewaris tidak memperolehnya. Sesudah hal ini disampaikan kepada Umar, ia memberikan fatwa bahwa saudara kandung, saudara dari pihak ibu dan saudara dari pihak ayah sama-sama mendapat. Tidaklah adil karena saudara kandung lalu tak mendapat bagian. Karenanya ia berkata : Anggaplah ayahnya itu batu —sumber lain menyebutkan keledai— ia mewarisinya dari peninggalan sebagai saudara dari pihak ibu bersama-sama dengan saudara-saudara seibu yang lain.
Umar telah menghadapi berbagai masalah waris yang tidak ringan sesudah terjadi wabah Amawas di Syam yang telah menelan korban ribuan jiwa. Masalah waris ini menjadi kusut masai yang selama bertahun-tahun proses pengadilannya menimbulkan kesulitan besar pada semua bangsa. Sesudah keadaan kembali seperti biasa Umar sendiri pergi ke Syam. Ia mengatur dan mengurus segala masalah yang dipandang perlu. Salah satu pekerjaan yang harus diselesaikannya, mengatur soal pembagian waris kepada para ahli waris dan memisahkannya pula kepada kabilah-kabilah dan masing-masing ahli waris itu. Kita dapat membayangkan betapa cermatnya hal itu dikerjakan serta kemungkinan akan timbulnya perselisihan karenanya. Tetapi bukan maksud saya hendak menguraikan semua ini; saya hanya ingin menyinggung selintas ijtihad yang dilakukan oleh Umar dalam menghadapi segala kesulitan yang begitu pelik itu; namun semua dapat diselesaikannya hanya dalam beberapa minggu saja dan dapat diterima oleh semua kaum Muslimin, padahal mereka masing-masing dengan kepentingannya sendiri. Ini suatu bukti yang nyata sekali bahwa semua orang merasa puas dengan ijtihad yang dilakukan atas dasar keadilan itu.

Pembagian Tanah pada Muslimin yang Membebaskannya
Sekarang saya ingin berpindah ke masalah ijtihad Umar yang terpengaruh oleh kebijakannya secara umum dalam soal-soal kedaulatan yang baru tumbuh itu serta kecenderungannya dalam menghadapi tahap-tahap baru. Dalam memperluas daerahnya itu besar pula pengaruhnya, yakni ijtihadnya sehubungan dengan kawasan yang dibebaskannya secara paksa di Irak dan di Syam.
Kita sudah melihat pihak Muslimin yang telah mendapat kemenangan di Kadisiah, kemudian menaklukkan Mada’in, Jalula, Hims. Halab (Aleppo) dan kota-kota lain dengan segala rampasan perangnya. Setiap rampasan perang seperlimanya dikirimkan kepada Amirulmukminin dan empat perlimanya dibagikan di antara anggota pasukan yang menang perang. Hal ini sesuai dengan firman Allah : “Dan ketahuilah, .segala yang kamu peroleh dari rampasan perang, seperlima untuk Allah dan untuk Rasul, untuk kerabat dan anak yatim, untuk orang miskin dan orang terlantar dalam perjalanan..” (TQS. al-Anfal (8) : 41). Setelah membebaskan tanah Sawad di Irak mereka bermaksud mengadakan pembagian dengan cara itu, seperlimanya untuk baitulmal, dan yang selebihnya dibagikan kepada para anggota pasukan yang terlibat dalam pembebasan itu. Tetapi Umar berbeda pendapat dengan mereka mengenai pembagian tanah itu dengan mengatakan : Bagaimana dengan kaum Muslimin yang datang dan mendapati tanah dengan orang-orang Persia kafirnya sudah dibagi dan diwarisi dari nenek moyang dan menjadi milik mereka. Ini tak dapat diterima. Abdur-Rahman bin Auf dalam hal ini berkata : Tanah dan orang-orang Persia kafir itu tidak lain adalah yang sudah diberikan Allah kepada mereka. yakni kepada para prajurit yang menang. Dijawab oleh Umar : ltulah yang Anda katakan, tetapi saya tidak sependapat. Sesudah saya ini tak akan ada negeri yang dibebaskan lalu memberi hasil yang besar. Bahkan jangan-jangan menjadi beban bagi kaum Muslimin. Kalau kita bagikan tanah Irak dengan orang-orang asing kafirnya, tanah Syam dengan orang-orang asing kafirnya, lalu dengan apa kesenjangan itu ditutup dan apa lagi buat anak-anak dan para janda di negeri ini dan tempat-tempat lain di Syam dan Irak!
Para prajurit itu tidak puas dengan kata-kata Umar. Banyak mereka yang mengecamnya dengan mengatakan : Anda hendak mewakafkan apa yang diberikan Allah kepada kami yang kami peroleh dengan pedang kami untuk golongan orang yang tidak ikut hadir! Tetapi Umar tetap bertahan dengan pendapatnya dengan hanya mengatakan : Itulah pendapat saya. Setelah mereka melihat Umar begitu bersikeras, mereka berkata : Musyawarahkanlah. Sesudah kaum Muhajirin yang mula-mula dikumpulkan mereka berbeda pendapat. Tinggal Abdur-Rahman bin Auf yang masih bertahan dengan pendapatnya agar hak-hak mereka itu dibagikan. Tetapi Usman, Ali dan Talhah sependapat dengan Umar. Umar mengundang sepuluh orang pemuka-pemuka Ansar, lima orang dari Aus dan lima orang dari Khazraj dan ia berkata kepada mereka : “Saya tidak ingin mempersulit kalian selain meminta kalian ikut bersama-sama memikul amanat mengenai persoalan kita ini. Saya hanya salah seorang seperti kalian, dan sekarang kalian mau mengakui atas dasar kebenaran : siapa yang tidak setuju dan siapa yang setuju dengan saya, silakan. Saya tidak ingin kalian mengikuti apa yang saya kehendaki. Di depan kalian ada Kitabullah yang hanya mengatakan yang benar. Sungguh, apa yang saya katakan, yang saya inginkan hanyalah yang benar!” Mereka berkata : “Katakanlah Amirulmukminin, kami akan mendengarkan!” Umar berkata lagi : “Kalian sudah mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang itu, yang mengira bahwa saya telah memperkosa hak-hak mereka, dan saya berlindung kepada Allah bahwa saya hendak melakukan perbuatan yang merugikan. Kalau saya sampai merugikan mereka sedikit sekalipun yang seharusnya menjadi hak mereka dan saya berikan kepada yang lain maka saya telah menganiaya diri saya sendiri. Tetapi saya berpendapat, tak ada lagi yang akan dapat dibebaskan sesudah negeri Kisra ini. Allah telah memberikan kepada kita sebagai rampasan perang harta mereka, tanah mereka dan orang-orang mereka. Harta yang mereka peroleh sebagai rampasan perang sudah saya bagikan kepada yang berhak, dan saya keluarkan seperlimanya dan sudah saya salurkan sebagaimana mestinya, dan saya sendiri yang membimbingnya. Saya berpendapat akan menahan kedua negeri itu dengan orang-orang kafir asingnya dan akan saya kenakan kharaj serta jizyah yang harus mereka bayar. Itulah yang akan menjadi rampasan perang bagian pihak Muslimin yang berperang dan anak-anaknya dan mereka yang datang kemudian. Kalian lihat tempat-tempat perbatasan dengan musuh yang masih rawan itu? Harus ada orang-orang yang menjaganya. Kalian lihat kota-kota besar itu? Semua itu harus diisi oleh angkatan bersenjata, dan kita harus memberikan bekal yang cukup banyak kepada mereka! Apa yang akan dapat diberikan kepada mereka kalau semua tanah dan orang-orang asing kafir itu dibagikan?!”
Kita sudah melihat dialog dengan segala argumennya ini, dan ini membuktikan bahwa perdebatan antara Umar dengan mereka yang mendakwakan diri berhak atas tanah Irak itu terjadi begitu sengit, sehingga karena sengitnya sampai mereka menuduh Amirulmukminin telah melakukan perbuatan zalim, kendati Amirulmukminin tetap bersikeras dengan pendapatnya, yang dalam pendapatnya itu ia tidak berpegang pada nas Qur’an atau sunah yang sudah ada contohnya dari Rasulullah. tetapi kemaslahatan umum bagi negara dan politiknya itulah yang dijadikan dasar. Jadi itu semata-mata pendapat Umar, dari hasil ijtihadnya, dan untuk memperkuatnya ia mengemukakan argumen-argumen yang membuat Usman, Ali dan Talhah merasa puas, dan kesepuluh orang Ansar yang mendengar argumennya itu pun mengatakan : “Terserah kepada pendapat Anda. Pendapat Anda dan apa yang Anda katakan itu memang bagus sekali! Kalau anggota-anggota pasukan tidak ditempatkan di daerah-daerah perbatasan yang rawan dan dalam kota-kota untuk memperkuatnya, niscaya orang-orang kafir itu kembali lagi ke dalam kota.”
Umar sudah merasa puas dengan pendapatnya itu. dan tak ada lagi pihak oposisi yang akan membatalkannya. Dalam hal ini ia berkata : “Sekarang jelas buat saya, siapa orang yang berpikir sehat, yang akan menempatkan tanah ini di tempatnya, dan membiarkan orang-orang Persia kafir itu apa yang dapat mereka lakukan?” Mereka sependapat akan meminta Usman bin Hanif dengan mengatakan : “Utuslah dia ke tempat yang lebih penting. Pandangan dan pikirannya baik sekali dan dia sudah berpengalaman.” Umar kemudian mengangkatnya untuk daerah Sawad. Karena kebijakannya yang baik, dari Kufah saja —setahun Umar terbunuh— ia sudah dapat mengumpulkan seratus juta dirham, dan berat dirham ketika itu sama dengan berat satu miskal.
Gambaran yang paling baik yang menjadi keputusan Umar sekitar pembagian rampasan perang itu ialah suratnya yang dikirimkan kepada Sa’d bin Abi Waqqas, sesudah ia bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya dan menjelaskan segala masalahnya. Dalam surat itu ia mengatakan : “Surat Anda yang menyebutkan bahwa banyak orang yang menanyakan kepada Anda tentang pembagian rampasan perang di kalangan mereka, sudah saya terima. Begitu surat saya ini Anda terima lihatlah perlengkapan dan harta yang diserahkan orang kepada Anda untuk diberikan kepada tentara. Maka bagikanlah kepada Muslimin yang hadir, dan tinggalkanlah dua lahan tanah dan sungai-sungai untuk mereka yang menggarapnya, agar dengan begitu menjadi pemberian kaum Muslimin. Kalau Anda sudah membagikannya di kalangan mereka yang hadir, mereka yang datang kernudian tidak lagi mendapat bagian.
Dialog semacam ini telah terjadi antara Umar dengan sahabat-sahabatnya seusai pembebasan Syam. Sahabat-sahabatnya mengajaknya beradu argumen selama kurang lebih dua atau tiga hari. Sekelompok jemaah Muslimin menghendaki agar Umar membagikan tanah Syam itu kepada mereka seperti ketika Rasulullah membagi Khaibar. Orang yang paling gigih dalam hal ini Zubair bin Awwam dan Bilal bin Rabbah. Tetapi jawaban Umar kepada mereka seperti ketika menjawab orang mendebatnya mengenai tanah di Irak : Jadi kaum Muslimin yang sesudah kalian tidak mendapat bagian. Tanah itu tidak dibagikan tetapi dibiarkan untuk mereka yang menggarapnya agar dengan begitu menjadi pemberian kaum Muslimin.
Inilah ijtihad Umar mengenai tanah yang diperoleh Muslimin dan rampasan perang. Ijtihad ini meminjam ungkapan Abu Yusuf dalam kitab al-Kharaj : “Merupakan keberhasilan yang diberikan Allah atas segala yang telah dilakukan Umar dan itulah yang terbaik yang telah diberikannya kepada kaum Muslimin. Segala yang menurut pendapatnya dengan pengumpulan kharaj itu dan pembagiannya kepada kaum Muslimin, sudah sesuai dengan kepentingan mereka umumnya. Tanpa adanya ketentuan demikian dalam pemberian dan pembayaran, daerah-daerah perbatasan dengan musuh yang berbahaya itu tidak akan dapat diatasi dan dalam meneruskan perjuangan angkatan bersenjata tidak pula mampu mengadakan perjalanan dan mengusir kembali orang-orang kafir musuh ke kota mereka setelah selesai pertempuran. Di mana pun yang terbaik itu Allah juga lebih tahu.”
Ini sekadar beberapa contoh dari ijtihad Umar mengenai beberapa hal penting. terutama yang berhubungan dengan kepentingan negara. Di balik itu ijtihadnya sekitar legislasi (perundang-undangan) dan fikih sudah banyak diungkapkan dalam kitab-kitab fatwa dan dijadikan pegangan utama oleh keempat imam mazhab dan kalangan ahli fikih sunni dan yang lain. Bukan maksud saya hendak menelaah fatwa-fatwa itu sampai sedalam-dalamnya atau mencatat semua ijtihadnya.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 704-710.

Rabu, 24 September 2014

Jika Berkhemah Dan Turun Berhenti Pada Suatu Tempat (1)

Khaulah binti Hakim r.a. berkata: Saya telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda : Siapa yang turun di suatu tempat lalu membaca : A’UDZU BIKALIMATILLAHITTAMMATI MIN SYARRIMA KHOLAQO. (Saya berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari bahaya apa yang telah dijadikan). Maka tidak akan terganggu oleh sesuatu apapun hingga pergi dari tempat itu. (HR. Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 115-116.

Selasa, 23 September 2014

Do’a Jika Takut Sesuatu, Orang dan Lainnya

Abu Musa Al-Asy’ary r.a. berkata : Adanya Rasulullah s.a.w. jika khawatir dari sesuatu kaum membaca : Allahumma inna naj’aluka fi nuhurihim wa na’udzubika min syururihim. (Ya Allah kami jadikan Engkau di depan mereka, dan kami berlindung kepada-Mu dari kejahatan mereka). (HR. Abu Dawud dan An-nasa’i).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 114.

Senin, 22 September 2014

Sunnat Mendo’akan Dalam Bepergian

Abu Hurairah r.a. berkata : Rasulullah s.a.w. bersabda : Tiga macam do’a yang tidak dapat diragukan pasti mustajab. Do’a orang teraniaya. Doa’ orang yang sedang bepergian. Do’a ayah terhadap anaknya. (HR. Abu Dawud dan Attirmidzy).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 113.

Ijtihad Umar bin Khattab (9)

Sikap Umar tentang Hadis Terbukti Kebenarannya
Kata-kata Umar ini akan lebih terbukti dan lebih memberi konfirmasi kalau saja dia menuliskan hadis-hadis dan sunah itu. Setelah itu tak akan terjadi fitnah dan tak akan ada orang membuat hadis palsu, yang jumlahnya sudah begitu banyak sehingga hadis yang sahih hanya seperti dalam seutas bulu putih di kulit lembu jantan hitam. Kitab Umar itu tidak akan berisi sanad yang dapat mengangkat hadis tersebut sampai kepada Nabi, bahkan Zaid bin Sabit atau sahabat-sahabat besar lainnya akan membuat penelitian hadis-hadis yang disebutkan orang kepadanya menurut nas dan nisbatnya, dan akan dikonfirmasi bahwa kata-kata itu tidak diragukan adalah dari Nabi. Ketika itulah orang akan berhadapan dengan dua macam kitab, yang satu yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia, dan yang satu lagi yang dikatakan Rasulullah kepada umat manusia. Lalu kedua kitab itu pada zaman pembukuannya menjadi satu pasang. Bukan tak mungkin ini dapat menjurus pada apa yang dikhawatirkan Umar, orang akan menekuni kitab hadis dan akan meninggalkan Kitabullah. Untuk itulah Umar sangat berhati-hati, dan dalam hal ini Umar telah berhasil sekali. Qur’an tetap di tangan orang dan akan tetap demikian seperti yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya, sebagai petunjuk. sebagai rahmat dan sebagai cahaya bagi umat manusia. Hadis-hadis Rasulullah yang kemudian dihimpun oleh para peneliti yang didasarkan pada sumbernya itu, tak ada orang yang mencampuradukkannya dengan Quran, dan tak ada pula orang yang menekuninya lalu meninggalkan Kitabullah itu karenanya. Bahkan orang kagum melihatnya dan penuh rasa hormat dengan penghargaan yang luar biasa kepada orang yang telah membuat sanad itu. Di samping itu, juga tidak menghalangi orang untuk mengujinya kembali secara menyeluruh dengan menghadapkannya kepada Qur’an, serta mengadakan kritik dari segi sanad dan matannya.
Setelah ijtihad Umar untuk menghimpun hadis dan akhirnya membatalkan niatnya itu, saya rasa yang dapat kita lihat adalah suatu ijtihad yang sepenuhnya dapat kita terima, lepas dari kita setuju atau tidak dengan pendapatnya itu.
Seperti yang sudah kita lihat, dengan adanya ijtihad Umar itu sudah seharusnya hati kaum Muslimin akan merasa tenang. Dengan demikian kita dapat mengatakan Umar adalah Imãmul Mujtahidin “bapak para mujtahid.” Jangan ada orang yang akan menuduh kita sudah berlebihan. Dengan ijtihadnya itu Umar samasekali tidak bermaksud hendak berspekulasi dan dia tidak menyukai yang demikian, sebab dia tahu benar bahwa ijtihad demikian itu dapat menjurus pada perselisihan, hal yang memang sangat dibencinya. Suatu hari ia mendengar Abdullah bin Mas’ud dan Ubai bin Ka’b berselisih pendapat mengenai shalat seseorang dengan satu atau dua pakaian. Ketika berada di atas mimbar ia berkata : “Ada dua orang sahabat Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam berselisih pendapat. Lalu fatwa mana yang akan diikuti kaum Muslimin. Saya akan mengambil tindakan setiap saya mendengar ada dua orang berselisih pendapat sesudah saya berdiri di sini ini.” Pernah juga ia berkata : “Janganlah berselisih, sebab kalau kalian berselisih pendapat, perselisihan orang-orang yang sesudah kalian akan makin keras.” Seruannya untuk tidak berselisih memang sudah menjadi pegangannya sejak ia masuk Islam. Oleh karena itu ia sangat mengecam orang yang bertanya tentang apa yang tidak dilakukan oleh Rasulullah. Sesudah ia menjadi Khalifah besar sekali hasratnya agar Muslimin bersatu pendapatnya untuk tidak mengeluarkan pendapat sebelum bermusyawarah dengan para sahabat besar dan berdiskusi dengan mereka mengenai suatu masalah, sehingga orang merasa benar-benar puas dengan pendapat yang dikeluarkan. Dalam kitabnya Hujjatullah al-Baligah ad-Dahlawi berkata : “Sudah menjadi kebiasaan Umar radiallãhu anhu bahwa dia selalu bermusyawarah dengan sahabat-sahabat dan bertukar pikiran dengan mereka sehingga segalanya terungkap dan ia merasa sejuk. Akibatnya, segala keputusan dan fatwanya diikuti orang dari ujung timur sampai ke barat.” (yang dimaksud dengan merasa sejuk, sehingga hati dan pikiran benar-benar merasa senang dan puas). Dalam hal ini Ibn Mas’ud berkata : “Jika Umar memecahkan suatu masalah kita melihatnya begitu mudah.”

Menolak Melaksanakan Hukuman karena Keadaan Darurat
Hukum Islam sangat berutang budi kepada ijtihad Umar, yang tidak kurang pula dari politik Islam dalam menegakkan kedaulatan, dengan pandangannya yang begitu bagus, disertai iman yang kuat dan keteguhan hatinya. Ia telah memantapkan prinsip-prinsip dan pandangan-pandangannya dalam hukum flkih, yang oleh mereka yang datang kemudian telah dijadikan pegangan, dan segala yang berasal dari dia dipandang sebagai bukti yang sahih. Tidak sedikit dari pengaruh prinsip-prinsip itu yang penting sekali artinya. Karenanya, penerapannya tetap berlaku sampai sekarang. Dalam beberapa bidang hukum, baik dalam hukum Islam atau di luar hukum Islam sudah dianggap sebagai prinsip-prinsip universal yang sudah tak dapat dibantah lagi. Di antara prinsip-prinsip itu ialah soal hukum darurat (terpaksa). Dalam Qur’an sudah ditentukan hukum-hukum Allah yang berlaku mengenai pembunuhan. pencurian, zina, tuduhan palsu dan perampokan. Allah berfirman : “…. barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah mereka itulah orang fasik,” (TQS. al-Ma’idah (5) : 47). Sungguhpun begitu Umar berpendapat akan menghindari hukuman itu dengan cara darurat berdasarkan firman Allah : “…jika dalam keadaan terpaksa bukan sengaja hendak melanggar atau mau melampaui batas maka tidaklah ia berdosa. Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih.” (TQS. al-Baqarah (2) : 173).
Suatu hari orang-orang membawa seorang perempuan yang melakukan perbuatan zina dan dia memang mengakui perbuatannya. Umar memerintahkan agar dia dirajam. Tetapi Ali bin Abi Talib berkata : Barangkali dia masih dapat mengemukakan alasan! Kemudian ia ditanya : Apa yang membuatmu berbuat begitu? Perempuan itu menjawab : Saya mempunyai seorang teman. Dalam untanya masih ada air susu, sedang dalam unta saya tak ada air juga tak ada susu. Saya sangat haus; saya minta diberi air tetapi dia menolak kecuali kalau saya bersedia menyerahkan diri. Tetapi saya menolak, sampai tiga kali. Saya sudah begitu haus dan sesudah saya rasa saya sudah akan mati maka saya berikan apa yang dimintanya itu. Lalu ia memberi saya minum. “Allahu Akbar!” kata Ali, “…. jika dalam keadaan terpaksa bukan sengaja hendak melanggar atau mau melampaui batas maka tidaklah ia berdosa. Allah Maha Pengampun, Maha Pengasih.” Dalam Sunan oleh Baihaqi dan Abu Abdur-Rahman as-Sulam ia melaporkan bahwa ada seorang perempuan yang sudah kepayahan karena kehausan dibawa kepada Umar. Ketika sedang melalui seorang gembala ia meminta diberi minum gembala itu menolak kecuali jika ia menyerahkan dirinya, maka ía pun menyerah. Umar mengadakan musyawarah untuk menjatuhkan hukum rajam, tetapi Ali berkata : Ini keadaan terpaksa; saya berpendapat, lepaskan saja dia. Oleh Umar dia dibebaskan.
Diceritakan bahwa ada sekelompok pemuda pembantu-pembantu Hatib bin Abi Balta’ah mencuri seekor unta milik orang dari Muzainah. Ketika dibawa kepada Umar mereka mengaku. Kusayyir bin as-Salt meminta agar mereka dijatuhi hukuman potong tangan. Setelah pergi ia dipanggil kembali lalu katanya : Sungguh kalau tidak karena saya tahu kalian memanfaatkan mereka dan membuat mereka kelaparan sehingga jika sekiranya ada dari mereka yang memakan makanan yang diharamkan oleh Allah mereka halalkan, niscaya saya potong tangan mereka. Kemudian ia menujukan kata-katanya kepada Abdur-Rahman bin Hatib bin Abi Balta’ah dengan katanya : Demi Allah, kalau saya tidak melakukan itu pasti saya denda kalian dengan denda yang sangat menyakitkan Anda! Setelah itu katanya lagi : Hai orang Muzainah (pemilik unta), berapa Anda hargai unta Anda itu? Empat ratus, jawabnya. Umar berkata kepada Abdur-Rahman : Pergilah dan berikan kepadanya delapan ratus, dan bebaskan anak-anak muda pencuri itu dari tuduhan pencurian, sebab Hatib yang telah memaksa mereka mencuri; mereka dalam kelaparan dan mereka sekadar mencari hidup.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 701-704.

Minggu, 21 September 2014

Takbir Jika Mendaki Dan Tasbih Jika Menurun (4)

Abu Musa Al-Asyary r.a. berkata : Ketika kami bersama Nabi dalam bepergian maka apabila kami mendaki, membaca LA ILAHA ILLALAH ALLAHU AKBAR, dan kami memperkeras suara kami, maka Nabi bersabda : Kasihanilah dirimu, dan jangan paksa-paksa diri, karena kamu tidak menyeru kepada yang pekak atau jauh, sesungguhnya kamu berseru kepada Tuhan yang selalu dekat kepada kamu mendengar dan melihat. (HR. Buchary dan Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 112.

Sabtu, 20 September 2014

Takbir Jika Mendaki Dan Tasbih Jika Menurun (3)

Abu Hurairah r.a. berkata : Seorang datang kepada Nabi dan berkata : Ya Rasulullah saya akan pergi, maka nasihatilah saya. Bersabda Nabi : Hendaknya kau tetap bertaqwa pada Allah, dan takbir pada tiap jalan mendaki. Dan ketika orang itu telah pergi Nabi berdo’a : ALLAHUMMATHWILAHUL-BA’IDA WAHAWWIN ALAIHISSAFARO. (Ya Allah singkatkanlah baginya yang jauh dan mudahkan baginya perjalanannya). (HR. Attirmidzy).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 112.

Masjid Layur Kampung Melayu

Tampak dari luar kawasan Masjid
Dinamakan Kampung Melayu karena pada tahun 1743 kampung sekitar masjid tersebut merupakan kawasan tempat hunian yang sebagian besar didiami oleh orang Melayu. Pada awalnya menara masjid tersebut adalah mercusuar yang berfungsi untuk mengawasi lalu lintas kapal-kapal yang akan masuk ke sungai Berok atau Semarang pada abad 18. Kemudian mencusuar ini tidak lagi berfungsi yang pada akhirnya digunakan dan dikembangkan dengan menambah bangunan masjid dan menjadikan mercusuar sebagai menara untuk mengumandangkan adzan pada awal abad ke-19, tepatnya tahun 1802 oleh para pedagang Arab yang berasal dari Hadramaut Yaman. Dan di kemudian hari masjid yang berada di jalan Layur 33 ini lebih dikenal dengan sebutan masjid Menara.
Masjid ber-arsitektur Jawa
Untuk mencapai lokasi Masjid ini sangatlah mudah dijangkau, dari Pasar Johar atau tak jauh dari masjid Kauman ke arah Kota Lama menyusuri jalur perlintasan Kereta Api Layur.
Gerbang Masjid bertembok tinggi dengan menaranya yang khas terletak di depan jalan Layur akan menyambut kehadiran kita. Bangunan utama masjid bergaya khas Jawa dengan atap masjid susun tiga, dilengkapi ornamen jendela dan pintu yang khas. Lantai bangunan dibuat tinggi dan untuk mencapainya dengan tangga yang terdapat pada sisi muka. Pondasi bangunan terbuat dari batu, memikul struktur kerangka kayu, bertembok tebal 50 cm khas bangunan kolonial. Bila dilihat dari arsitekturnya, masjid ini merupakan campuran dari tiga budaya yaitu Jawa, Melayu, dan Arab. Dari sisi desain interior plafon masjid bila diperhatikan terdapat kesamaan dengan masjid Kauman dan Masjid Kadilangu Demak.
Mihrab setengah lingkaran
Walaupun sudah dimakan usia namun masjid ini masih kokoh dan masih digunakan oleh masyarakat sekitar untuk beribadah. Sampai sekarang masjid ini masih terus dirawat oleh yayasan masjid setempat sebagai upaya pelestarian sejarah dan sebagai masjid tua kebanggaan Kota Semarang. Secara menyeluruh Masjid Layur masih asli seperti pertama kali dibuat, hanya ada sedikit perbaikan seperti penggantian genteng dan penambahan ruang sholat ke belakang samping mendekati garis  sepadan sungai, pengelola dan ruang sholat khusus perempuan pada sisi kanan kompleks masjid.

Jumat, 19 September 2014

Takbir Jika Mendaki Dan Tasbih Jika Menurun (2)

Ibn Umar r.a. berkata : Adanya Nabi jika kembali dari Haji atau Umroh tiap mendaki dalam perjalanan itu bertakbir 3 x. Lalu membaca : Lailahaillallahu wahdahu lasyarikalahu, lahulmulku walahul hamdu wa huwa ala kulli syai’in qodir, ayibuna ta’ibuna ‘abiduna sajiduna li robbina hami duna, shodaqollahu wa ‘dahu wanashoro abdahu wa hazamalahzaba wahdahu. (Tiada Tuhan kecuali Ia yang maha Esa dan tidak bersekutu baginya kerajaan dan pujian dan Ia atas segala sesuatu yang maha kuasa. Kami telah kembali bertobat dan ibadat bersujud kepada Tuhan kami tetap memuji. Telah tepat janji Allah, dan telah menolong hambanya dan mengalahkan semua lawannya sendirian.) (HR. Buchary dan Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 111-112.

Workshop batik warna alam

Pada tanggal 10 Februari 2011 lalu aku berkesempatan melakukan perjalanan "My Batik Adventure" untuk melihat proses membatik di workshop batik Naturaldyer dengan spesialisai pewarnaan alam kepunyaan Hanafi di Pekuncen RT 03 RW 03 No 283 Wiradesa, Pekalongan.

Generasi Terbaik

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Musli, Rasulullah ﷺ bersabda : "Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa tabi'in), kemudian yang sesudahnya (masa tabiut tabi'in)".
Dehidrasi panutan umat mengantarkan aku untuk terus menelaah sabda Rasulullah ﷺ tersebut, "Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini". Membaca perjalanan hidup Rasulullah ﷺ mengantarkanku mengenal para sahabat yang suka cita mengelilingi beliau, yang siap menerima ilmu dan nasihat khusus untuk masing-masing sahabat.
Panutan, siapa lagi yang pantas jadi panutan setelah Rasulullah ﷺ? Sahabat, itulah yang Rasulullah ﷺ ingatkan untuk meneladani mereka cara mencintai Allah dan Rasulullah ﷺ, karena merekalah sebaik-baik panutan setelah Rasulullah ﷺ. Teruslah belajar dari mereka.

Kamis, 18 September 2014

Takbir Jika Mendaki Dan Tasbih Jika Menurun (1)

Jabir r.a. berkata : Kita dahulukan jika dalam bepergian jika mendaki bertakbir dan jika menurun bertasbih. (HR. Buchary).

Ibn Umar r.a. berkata : Adanya Nabi s.a.w. dan tentaranya jika mendaki bertakbir dan jika menurun bertasbih. (HR. Abu Dawud).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 111.

Ijtihad Umar bin Khattab (8)

Umar Melarang Pengumpulan Hadis, Kemudian Membiarkan
Tetapi tak lama setelah hal itu dipikirkan kembali ia merasa ragu. Sahabat-sahabat Rasulullah dipanggilnya dan diajaknya bermusyawarah. Sebagian besar mereka setuju dan mereka juga menyarankan penulisan hadis dan sunah itu. Selama satu bulan ia memikirkan masalah itu, dan ia pun memohon kepada Allah untuk memberikan pilihan : Akan terus majukah atau akan mundur. Pada suatu pagi sesudah ia merasa Allah telah memberikan keteguhan hati kepadanya ia berkata : Seperti kalian ketahui, saya pernah mengatakan kepada kalian mengenai penulisan hadis dan sunah. Kemudian saya teringat orang-orang dan Ahli Kitab sebelum kita yang menuliskan kitab-kitab. Begitu asyik mereka dengan kitab-kitab itu, dan Kitabullah mereka tinggalkan. Saya tidak akan mencampuradukkan Qur’an dengan apa pun!” Dengan demikian penulisan itu dibatalkan, dan ia menulis ke kota-kota lain dengan mengatakan : “Barang siapa memilikinya supaya dihapus.”
Ketika Umar membatalkan penulisan hadis dan sunah itu dan memerintahkan orang untuk menghapus yang sudah ditulis, sudah benarkah dia ataukah salah, dan akibat kesalahannya itu tampak baru kemudian?
Kita dapat mengatakan bahwa dia salah, dan perjalanan sejarah telah menunjukkan adanya kesalahan itu. Hadis-hadis tersebut setelah itu mulai berbiak dan beredar dari mulut ke mulut tanpa batas. Dan setelah permusuhan antara Banu Umayyah dengan Banu Hasyim kembali tampak ke permukaan menyusul terbunuhnya Usman, kemudian timbul perang saudara antara Ali dengan Mu’awiyah dan ‘Aisyah melawan Ali, dan ada pula yang mendukung Ali, maka begitu banyak hadis palsu yang pro dan kontra Ali yang oleh Ali dibantah selama masa hidupnya dengan mengatakan : “Tak ada kitab yang dapat kami bacakan kepada kalian selain yang ada di dalam Qur’an, dan apa yang ada dalam lembaran ini saya ambil dari Rasulullah, di dalamnya terdapat soal kewajiban-kewajiban zakat.” Kata-kata ini tidak juga dapat menghentikan tukang menciptakan hadis itu dan usahanya karena nafsu ingin mengajak orang, atau karena sifat-sifat kebaikan yang dikira akan dapat memikat orang untuk mengikutinya jika hadis itu dikaitkan kepada Rasulullah. Maka tersebarlah hadis-hadis palsu yang begitu banyak, baik karena tujuan-tujuan politik atau di luar politik, sehingga kaum Muslimin merasa sangat terkejut sebab banyak yang bertentangan dengan isi Quran. Usaha hendak menghentikannya di zaman Banu Umayyah tidak berhasil. Bahkan dari hari ke hari makin bertambah banyak dari sebelumnya.
Sesudah kemudian datang kedaulatan Banu Abbas dan muncul pula al-Ma’mun sesudah hampir dua abad Rasulullah wafat, sementara hadis-hadis palsu ini sudah tersebar puluhan. bahkan ratusan ribu, ada yang saling berlawanan dan bertentangan yang selama itu tidak terpikirkan. Untuk sekadar ukuran cukup kalau kita sebut misalnya al-Bukhari, ia menemukan hadis-hadis yang sedang beredar ketika itu lebih dari 600.000 hadis, dari antaranya hanya 4000 hadis yang dinilainya sahih. Sedang Abu Daud yang telah menghimpun 500.000 hadis hanya 4800 hadis yang dinyatakan sahih. Dan tidak sedikit hadis yang oleh para penghimpunnya dianggap sahih dikritik oleh ulama dan ahli fikih yang lain. Sekiranya Umar menghimpun hadis-hadis dan sunah yang dinilai paling sahih pada masanya itu, niscaya sesudah itu tidak akan ada lagi hadis-hadis yang berkembang biak. Setelah hadis yang sahih dalam hadis yang palsu seperti seutas bulu putih di kulit lembu jantan hitam —seperti dalam ungkapan ad-Daruqutni— pasti dapat diteliti apa yang disebutkan dalam sumber bahwa Mu’awiyah mengatakan : Pakailah hadis yang di masa Umar ia telah mengancam orang mengenai hadis dari Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam.” Tetapi karena Umar tidak sampai melakukan itu, maka banyak hadis yang diriwayatkan orang, dan orang tidak tahu lagi mana yang di masa Umar dan mana yang dipalsukan sesudahnya. Akibatnya terjadilah hadis-hadis buatan seperti yang kita lihat. ini adalah suatu bukti bahwa Umar memang salah tatkala ia membatalkan niatnya hendak menghimpun hadis-hadis dan sunah itu. dan mengeluarkan perintah untuk menghapus semua yang sudah ditulis orang.
Kita dapat mengatakan ini, dan kita akan menjadi ragu setelah jumlahnya pada zaman Ma’mun mencapai 900.000 hadis, yang sahih di antaranya hanya empat ribu hadis. Itu pun tidak sedikit pula yang kemudian masih menjadi sasaran kritik dan sanggahan orang. Tetapi dalam menilai ini kita tidak obyektif kalau kita masih meragukannya. Umar sudah memperhitungkan, bahwa orang-orang yang akan menggantikannya kelak sebagai amirul rnukminin akan mengikuti jejaknya dalam melarang orang meriwayatkan hadis. dan akan seperti dia memenjarakan siapa saja yang banyak mengumbar hadis Rasulullah. Kalaupun para pengganti itu tidak melakukannya, malah sengaja mereka menutup mata mengenai hadis-hadis yang dipalsukan karena tujuan-tujuan politik atau lainnya, dan sebagian lagi ada yang malah mendorong melakukan yang demikian, maka yang menanggung dosanya dalam hal ini bukanlah Umar, tetapi para pengganti itu sendiri. Mereka yang mendorong melakukan pemalsuan hadis-hadis itu, mereka itulah yang paling berat bertanggung jawab dan memikul segala akibatnya. Dalam keadaan seperti ini, adilkah kita mengaitkan kesalahan itu kepada Umar?!
Anggaplah misalnya Umar memerintahkan penulisan hadis dan sunah itu, kemudian timbul fitnah dan terjadi perang saudara antara Ali dengan Mu’awiyah, antara Banu Umayyah dengan Banu Hasyim, lalu dalam perang dan huru-hara itu riwayat hadis dan Rasulullah dijadikan alat propaganda, masih mungkinkah orang menahan diri untuk tidak menuliskan hadis-hadis palsu dengan riwayatnya itu?! Ataukah para propagandis politik itu terus mendorong dan mengumpulkan hadis-hadis seperti yang di lakukan Umar, lalu pihak-pihak yang berkepentingan menambah-nambahkan kekuasaannya yang resmi ke dalamnya, hal yang tak pernah ada yang melakukan seperti itu atas apa yang sudah dihimpun oleh Bukhari dan para pemuka hadis yang lain sesudahnya’? Kalau sudah begitu, tidaklah heran bahwa tulisan-tulisan pihak resmi itu lalu mempunyai nilai agama, hal yang sangat dikhawatirkan oleh Umar ketika ia berkata : “...saya tidak akan mencampuradukkan Qur’an dengan apa pun!” Dan saat berkata : “...ada satu golongan menulis kitab. Begitu asyik mereka dengan itu dan Kitabullah mereka tinggalkan.”
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 699-701.

Musuh Kekuasaan bagi Mu'awiyah bin Abi Sufyan

TIME TUNNEL. Pagi itu disebuah warung makan di pasar Madinah, kulihat seorang lelaki zuhud melintas menuju kearah utara kota dan aku mencoba bertanya kepada teman sebangku di warung makan itu.
“Siapakah beliau?”, tanyaku sambil menunjuk lelaki zuhud itu.
“Oh….., beliau adalah ‘Ubadah ibn Shamit”, jawabnya.
“Mohon sudilah kiranya ceritakan kepada saya tentang beliau.”, pintaku.
* * *
Beliau adalah seorang tokoh Anshar dari suku Khazraj dan salah satu dari 12 orang yang beriman dalam “Bai’atul Aqabah” pertama.
Semenjak beliau menyatakan, Allah dan Rasul sebagai pilihannya, maka dipikulnya segala tanggung jawab akibat pilihannya itu dengan sebaik-baiknya.
Ketika salah satu kabilah Yahudi Bani Qainuqa’ berulah dan membuat keributan di kalangan Muslimin, beliau secepatnya melakukan tindakan membatalkan perjanjian dengan mereka yang telah dibuat sebelum datangnya Rasulullah. Katanya; “Saya hanya akan mengikuti pimpinan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman ….. !”.
Allah memuji sikap beliau dengan firmannya : “Dan barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang beriman sebagai pemimpin, maka sungguh, partai atau golongan Allah-lah yang beroleh kemenangan ….” (TQS 5 : 56).
* * *
Pada suatu hari Rasulullah  ﷺ menjelaskan tanggung jawab seorang amir atau wali. Didengarnya Rasulullah menyatakan nasib yang akan menimpa orang-orang yang melalaikan kewajiban di antara mereka atau memperkaya dirinya dengan harta …., maka tubuhnya gemetar dan hatinya berguncang. Ia bersumpah kepada Allah tidak akan menjadi kepala walau atas dua orang sekalipun….
Dan sumpahnya ini dipenuhi sebaik-baiknya dan tak pernah dilanggarnya ….
Di masa pemerintahan amirul mukminin Umar bin Khattab r.a., beliaupun tak berhasil mendorongnya untuk menerima suatu jabatan, kecuali dalam me4ngajar ummat dan memperdalam pengetahuan mereka dalam soal agama ….
Dan inilah satu-satunya usaha yang diutamakan ‘Ubadah lebih dari yang lainnya, menjauhkan diri dari usaha-usaha yang bersangkut-paut dengan harta benda dan kemewahan serta kekuasaan, begitu pun dari segala marabahaya yang dikhawatirkan akan merusak Agamanya….
Bersama Mu’adz bin Jabal dan Abu Darda beliau berangkat ke Syria menyebarluaskan ilmu, pengertian dan cahaya bimbingan di negeri itu.
* * *
Walaupun badan ‘Ubadah berada di Syria, tapi pandangan matanya bebas lepas dan merenung jauh melewati tapal batas, Madinah al-Munawarah tempat kedudukan amirul mukminin Umar bin Khattab seorang tokoh yang tak ada duanya. Sebuah pemandangan berbeda yang beliau rasakan ketika melihat Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang haus kekuasaan.
“Ubadah seperti yang kita saksikan adalah rombongan perintis yang telah menjalani sebagian besar hari-hari terbaiknya bersama Rasulullah. Rombongan pelopor yang bergelimang dengan kancah perjuangan dan ditempa oleh pengurbanan dan telah dididik langsung dengan tangan Muhammad s.a.w.
Bagi ‘Ubadah dikalangan pelopor yang masih hidup dan menjadi contoh luhur sebagai kepala pemerintahan yang dikagumi olehnya adalah Umar bin Khattab….
Maka jika “Ubadah membandingkan tindak-tanduk Mu’awiyah bin Abi Sufyan dengan apa yang dipertontonkan amirul mukminin Umar bin Khattab tampaklah jurang pemisah yang menganga lebar dan tegas.
* * *
Tersiar berita ke sebagian besar negeri Islam perlawanan berani yang dilancarkan ‘Ubadah bin Shamit r.a. terhadap Mu’awiyah bin Abi Sufyan, hingga menjadi contoh teladan bagi mereka …..
‘Ubadah ibn Shamit berkata ; “Kami telah bai’at kepada Rasulullah s.a.w. tidak takut akan ancaman siapa pun dalam menta’ati Allah …..!”
Sikap dan pendirian ‘Ubadah bin Shamit tak urung membuat sesak nafas Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang terkenal gigih dan ulet. Hal itu dipandangnya sebagai ancaman langsung terhadap wibawa dan kekuasaannya …. Buru-buru Muawiyah bin Abi Sufyan mengusirnya ‘Ubadah dari sisinya. Lalu ditinggalkannya Palestina dan ‘Ubadah kembali ke Madinah ….
* * * * * * *
Selang beberapa hari kemudian aku menemukan sebuah jawaban tentang lelaki zuhud yang berjalan kearah utara Madinah. Rupanya beliau tengah kembali ke Palestina sesuai perintah amirul mukminin Umar bin Khattab r.a., karena bagi amirul mukminin tak ingin melepas kepala-kepala daerahnya hanya mengandalkan kecerdasan semata, tanpa didampingi sejumlah sahabat yang zuhud dan shalih, serta penasihat yang tulus ikhlas. Mereka bertugas membendung keinginan-keinginan yang tidak terbatas, dan selalu mengingatkan mereka akan hari-hari dan masa bersama Rasulullah  ﷺ.
Maka terhadap Mu’awiyah bin Abi Sufyan, amirul mukminin Umar bin Khattab bersurat yang isinya : “Tak ada wewenangmu sebagai amir terhadap ‘Ubadah bin Shamit.”
Dan pada tahun 34 Hijriah, wafatlah beliau ‘Ubadah bin Shamit di Ramla bumi Palestina.
-----------------
Inspirasi :
Hayat Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad), Dr. Muhammad Husain Haekal, Ph.D, Penerbit : P.T. Pustaka Litera Antar Nusa Jakarta-Bogor, Cetakan Kesebelas, Januari 1990.
Rijal Haolar Rasul (Karakteristik Perihidup 60 Shahabat Rasulullah), Khalid Muhammad Khalid, Penerbit : CV. Penerbit Diponegoro Bandung, Cetakan keduapuluh 2006.
Taht Râyah al-Rasûl (Perang Muhammad), Dr. Nizar Abazhah, Penerbit Zaman Jakarta, Cetakan Pertama 1432 H / 2011 M.

Rabu, 17 September 2014

Do’a Jika Berkendaraan (3)

Ali bin Robi’ah berkata : Saya telah menyaksikan Ali bin Abi Tholib ketika diberi kendaraan untuk di kendarainya, maka ketika meletakkan kaki dikendaraan membaca : BISMILLAH, dan ketika telah duduk di atas punggungnya membaca : ALHAMDULILLAHILLADZY SAKHKHORO LANA HADZA WAMA KUNNA LAHU MUQRININ WA INNA ILA ROBBINA LAMUNQOLIBUN. Kemudian membaca : ALHAMDULILLAHI 3 x. Kemudian membaca : ALLAHU AKBAR 3 x. Kemudian membaca : SUBHANAKA INNIDHOLAMTU NAFSI FAGHFIR LI INNAHU LAYAGHFIRUDZDZUNUBA ILLA ANTA. Kemudian tertawa. Dan ketika ditanya : Mengapakan Engkau tertawa? Jawabnya : Saya telah melihat Rasuluilah s.a.w. berbuat sebagai perbuatanku ini, kemudian tertawa. Sayapun bertanya : Mengapakan Engkau tertawa ya Rasulullah? Jawabnya : Sesungguhnya Tuhan yang maha suci, senang kepada hambanya yang minta diampunkan dosanya yang berdo’a : IGHFIR LI DZUNUBI. Maka disambut oleh Tuhan : Ia mengerti bahwa tidak ada yang mengampunkan dosa kecuali Aku sendiri. (HR. Abu Dawud dan Attirmidzy).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 109-110.

Selasa, 16 September 2014

Do’a Jika Berkendaraan (2)

Abdullah bin Sarjis r.a. berkata : Adanya Rasulullah s.a.w. jika bepergian berlindung kepada Allah dari kesukaran perjalanan, dan kesedihan pandangan, dan kebingungan sesudah ketenangan, dan do’a orang yang teraniaya, dan busuk pandangan baik terhadap keluarga atau harta kekayaan. (HR. Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 109.

Senin, 15 September 2014

Do’a Jika Berkendaraan (1)

Ibn Umar r.a. berkata : Adanya Rasulullah jika telah tegak di atas kendaraan untuk keluar dalam bepergian bertakbir 3 x. Kemudian membaca : SUHHANALLADZY SAKHKHORO LANA HADZA WAMA KUNNA LAHU MUQRININ WA INNA ILA ROBBINA LAMUNQOLIBUN. ALLAHUMMA INNA NASALUKA FISAFARINA HADZA ALBIRRA WATTAQWA, WA MINAL AMALI MA TARDLO. ALLAHUM MA HAWWIN ALAINA SAFARONA HADZA WATH WI’ANNA BU’DAHU. ALLAHUMMA ANTAS SHOHIBU FISSAFARI WALKHOLIFATU FIL AHLI. ALLAHUMMA INNI AUDZU BIKA MIN WA’TSA’ISSAFARI WA KA’ABATIL MANDHORI WA SU’IL-MUNQOLABI FIL-MALI WAL-AHLI WALWALADI. Dan jika pulang kembali dibacanya dan ditambah untuk bacaan pulang : AAYIBUNA TA’IBUNA ABIDUNA LIROBBINA HAMIDUNA. (HR. Muslim).

Artinya :
Maha suci Allah yang menundukkan kepada kami kendaraan ini padahal kami tidak kuasa menundukannya. Dan kami kepada Tuhan akan kembali. Ya Allah kami mohon kepada-Mu dalam bepergian ini bakti ta’at dan taqwa dan amal perbuatan yang Kau ridlo’i. Ya Allah mudahkan atas kami bepergian ini, singkatkan bagi kami kejauhannya. Ya Allah Engkau sebagai kawan dalam bepergian dan pengganti terhadap keluarga yang ditinggalkan. Ya Allah saya berlindung kepada-Mu dari kesukaran dalam bepergian, dan kesedihan pemandangan dan busuknya kembali baik mengenai kekayaan atau keluarga dan anak. Dan jika kembali pulang ditambah dengan bacaan : Kami telah kembali, bertobat dan tetap ibadat serta memuji kepada Tuhan kami. 
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 108-109.

Ijtihad Umar bin Khattab (7)

Melarang Pengutipan Riwayat Hadis
Sehubungan dengan Sunah Rasulullah ini Umar memegang peranan penting sekali yang patut kita perhatikan dengan saksama Umar termasuk orang sangat kuat imannya kepada Allah dan kepada Rasulullah, dan yang sangat besar hasratnya ingin mengikuti segala yang dibawa oleh Rasulullah yang datang dari Allah serta meneladani segala yang dikatakan dan dilakukan oleh Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Tetapi juga besar sekali hasratnya tidak ingin mencampuradukkan Kitabullah dengan apa pun, dan merintangi apa yang kadang memalingkan Muslimin dari al-Qur’anul Karim. Dalam hal ini ia sangat kuat mematuhi perilaku Rasulullah dan perilaku Abu Bakr sesudahnya. Mengutip sumber tentang Rasulullah yang berkata : “Jangan menuliskan sesuatu tentang aku selain Qur’an. Barang siapa menuliskan itu selain Qur’an, hendaklah dihapus.” Dan katanya lagi : “Kalian akan berselisih sesudah kutinggalkan. Karenanya, apa yang dikatakan orang tentang diriku, cocokkanlah dengan Qur’an. Mana yang cocok itu dari aku, dan mana yang bertentangan, bukan dari aku.”*)
Kecenderungan inilah yang dilihat Umar dalam kehidupan Nabi sampai ia wafat. Sumber tentang Ibn Abbas menyebutkan bahwa dia berkata : Sesudah Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam tiba ía berkata —di rumah banyak orang, di antaranya Umar bin Khattab— : “Mari saya tuliskan sebuah kitab untuk kajian yang akan membuat kalian tidak akan sesat lagi sesudah itu.” Umar berkata, bahwa sakit Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam sudah berat, pada kita sudah ada Quran, maka sudah cukuplah dengan Kitabullah itu. Anggota keluarga berselisih pendapat, ada yang mengatakan : Bawakan, supaya Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh tuliskan, sehingga sesudah itu kita tidak sesat. Ada pula yang berpendapat seperti yang dikatakan oleh Umar. Setelah terjadi ribut-ribut dan perselisihan pendapat di depan Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, ia berkata : “Pergilah kamu sekalian!” Ketika itu Ibn Abbas berkata : Bahwa bencana yang paling besar karena tidak segera menuliskan apa yang hendak dikatakan oleh Nabi, dengan ribut-ribut dan berselisih pendapat.” Dalam pada itu —wallahualam— Allah mewahyukan kepadanya, bahwa jika kitab itu dituliskan untuk mereka, sesudah itu mereka tidak akan tersesat samasekali, dan umat akan lepas dari ketentuan firman-Nya ini : “….mereka tidak akan juga berhenti bertengkar” dengan masuknya ke dalam firman-Nya : “Kecuali mereka yang telah mendapat rahmat dari Allah….” Tetapi Allah tidak menghendaki selain pertengkaran mereka yang sudah lebih dulu ditentukan dalam ilmu-Nya seperti pertengkaran mereka yang lain.
Demikianlah sumber Ibn Abbas. Tetapi Umar masih tetap dengan pendapatnya yang mengatakan : “Sudah cukuplah dengan Kitabullah.” Kaum Muslimin memang mengikuti pendapat ini pada masa kekhalifahan Abu Bakr dan pada masa kekhalifahannya sendiri, kecuali ada penegasan yang sudah pasti (qat’i) dan meyakinkan bahwa hal itu memang dikatakan oleh Rasulullah.
Sumber mengenai Abu Bakr menyebutkan bahwa setelah Nabi wafat ia mengumpulkan orang dan mengatakan kepada mereka : “Kalian akan membawa-bawa hadis dari Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam dengan hadis-hadis yang saling berlainan. Orang yang datang sesudah kita lebih-lebih lagi akan saling berselisih. Janganlah kalian membawa-hawa hadis Rasulullah. Jika ada yang bertanya kepada kalian katakanlah pada kita sudah ada Kitabullah, maka halalkanlah mana yang dihalalkan dan haramkanlah mana yang diharamkan.” Sesudah Umar terpilih sebagai khalifah, ia meneruskan kebiasaan Abu Bakr ini, dan melarang orang menggunakan hadis Rasulullah, supaya tidak terjadi perbedaan pendapat. Begitu keras ia melaksanakan perintah ini sehingga ada tiga orang sahabat besar yang dipenjarakannya, yaitu Ibn Mas’ud, Abu ad-Darda’ dan Abu Mas’ud al-Ansari, sebab mereka terlalu banyak membawa hadis Rasulullah, kendati mereka sudah begitu berhati-hati mengutip sumbernya. Karena pengaruh perintah Umar ini pengutipan hadis menjadi sedikit sekali, sehingga Abu Amr asy-Syaibani berkata : Ketika saya sedang duduk mengelilingi Ibn Mas’ud, dia tidak berkata : Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam berkata, dan kalaupun dia berkata : kata Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, ia agak gemetar sambil katanya : Begitulah, atau kurang lebih begitu atau kira-kira begitu. Abu Hurairah orang yang paling banyak bicara tentang hadis Rasulullah sesudah masa pemerintahan Umar. Suatu hari Abu Salamah menanyainya : Pada zaman Umar Anda membawa hadis begitu? Dia menjawab : Kalau pada masa Umar saya membawa-bawa hadis seperti yang saya lakukan sekarang kepada kalian, pasti dia akan memukul saya dengan cambuk kayunya itu.
Umar memberangkatkan Qarazah bin Ka’b dengan beberapa orang lagi ke Irak dan dia ikut berjalan bersama mereka. Setelah lepas dari kota Medinah, ia menanya kepada mereka : Tahukah kalian mengapa saya mengantarkan kalian? Mereka menjawab : Ya, sebagai penghormatan kepada kami. Di samping itu kalian akan melihat penduduk negeri itu, mereka akan seperti lebah, ramai mendengung-dengungkan Qur’an. Maka janganlah mereka diganggu dengan macam-macam hadis. Perbaikilah bacaan Qur’an kalian dan kurangilah mengutip pengambilan (riwayat) hadis dari Rasulullah dan saya bersama kalian semua. Begitu Qarazah tiba penduduk Irak berkata kepadanya : Bawakan hadis dari Rasulullah kepada kami. Ia menjawab : Umar melarang kami berbuat begitu.
Umar memang melarang orang membawa-bawa riwayat hadis, dan sangat keras ia melaksanakan perintahnya itu. Sungguhpun begitu orang masih juga mengutip hadis-hadis jika menyangkut beberapa analogi, yang sebelum itu Umar belum melarang orang meriwayatkan hadis. Yang terpenting dengan soal analogi ini ialah yang menyangkut beberapa masalah hukum pengadilan. Apa yang sudah diputuskan oleh Rasulullah dijadikan dalil dan analogi (kias). Dalam Qur’an Abu Bakr tidak melihat ada hukum waris untuk nenek yang pernah ia putuskan ketika seorang perempuan yang datang kepadanya menuntut harta warisnya, maka Mugirah bin Syu’bah berkata : Saya mendengar Rasulullah memberinya seperenam, dan Muhammad bin Maslamah juga pernah menyaksikan hal serupa, maka Abu Bakr pun mengambil keputusan demikian. Ada orang yang datang kepada Umar bin Khattab, karena sesudah memberi salam dari balik pintu sampai tiga kali Umar tidak menyuruhnya masuk, orang itu kembali. Umar menyuruh orang menyusulnya : Mengapa Anda kembali? tanyanya. Orang itu menjawab : Saya mendengar Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Kalau ada yang memberi salam sampai tiga kali tidak dijawab, maka kembalilah.” Umar meminta penjelasan mengenai hadis tersebut dan orang itu menjelaskan. Para hakim Umar memutuskan segala perkara berdasarkan Qur’an dan hadis. Jika ada lawan berperkara mengajukan hadis atau sunah Rasulullah kepada mereka, mereka menelitinya sungguh-sungguh. Jika dapat diperkuat, maka perkara itu diputuskan. Umar tak dapat melarang orang mengacu kepada hadis atau sunah dalam perkara hukum seperti larangannya mengenai riwayat hadis. Ia khawatir riwayat itu akan makin banyak karena sebab demikian, dan didorong oleh kepentingannya sendiri, sebagian orang akan membuat-buat hadis dan direkayasanya untuk memperkuat keabsahannya. Dengan demikian akan banyak timbul hadis palsu. Itulah sebabnya terpikir ia menuliskan hadis dan sunah itu supaya orang tidak lagi menambah-nambah di luar itu, seperti yang pernah disarankannya kepada Abu Bakr sebelum itu ketika untuk mengumpulkan Qur’an.

Catatan :
*) Sebagian orang ada yang mengecam karena hadis ini dihubungkan kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam sehingga Imam Syafi’i berkata : Samasekali tak ada sumber mana pun yang menguatkan hadis ini. Dan sebagian lagi mnengatakan bahwa itu karangan orang-orang zindik saja. Tetapi Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya memperkuat sebuah hadis yang maknanya persis sama kendati kata-katanya berbeda, yakni bahwa Abu Hurairah berkata : Rasulullah sallallãhu ‘alaihi wasallam berkata : Apa yang baik kukatakan atau tidak kukatakan yang dikatakan orang dari aku, maka akulah yang mengatakannya, dan apa yang jahat maka aku tidak mengatakan yang jahat. Orang yang mengecam hadis : Apa yang dikatakan orang tentang diriku, cocokkanlah dengan Qur’an, dan seterusnya, setelah melihat perlawanannya apa yang disampaikan oleh Miqdam bin Ma’di Yakrib al-Kindi dari Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam berkata : “Sungguh aku sudah diberi Qur’an ini bersama penjelasannya (sebanyak itu), niscaya orang cepat-cepat bertelekan di atas mimbarnya bicara tentang kata-kataku lalu mengatakan. bahwa pada kita sudah ada Kitabullah, segala yang halal kita jumpai di dalamnya, kita halalkan, dan yang kita jumpai di dalamnya haram kita haramkan. Sungguh. apa yang diharamkan oleh Rasulullah, sama seperti yang diharamkan oleh Allah.” Saya tidak melihat ada pertentangan antara hadis ini dengan pendapat yang mengatakan bahwa yang dihubungkan kepada Rasulullah itu tidak mungkin akan bertentangan dengan isi Qur’an. Wajar sekali jika hadis Rasulullah dengan apa yang diwahyukan kepada Rasul-Nya itu tidak akan bertentangan. Juga sangat wajar bahwa segala yang baik yang dihubungkan kepada Rasulullah, maka itu dikatakan oleh Rasulullah. karena apa yang dikatakannya hanya yang baik, dan dia tidak mengatakan yang jahat.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 695-699.

Minggu, 14 September 2014

Membantu Kawan (3)

Jabir r.a. berkata : Adanya Rasulullah s.a.w. di dalam bepergian biasa di belakang, maka mendorong kepada orang-orang yang lemah dan menggoncengkannya serta mendo’akannya. (HR. Abu Dawud).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 106.

Bersyukurlah !!!

Seorang kawan bercerita bahwa dulu ia sering berdo'a kepada Allah memohon diberi anugrah sekaya Abdurrahman bin Auf agar lebih banyak berderma dan berguna bagi lingkungan sebab kekayaannya. Tetapi beberapa waktu lalu ia tersadar setelah membaca sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Ibnu Hibban, dan Al-Baihaqi dalam kitab Ad-Dala’il, dari Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf, “Bahwasanya Abdurrahman bin Auf dihidangkan makanan, dan saat itu ia sedang berpuasa, maka ia berkata, “Mush’ab bin Umair telah gugur dan ia lebih baik daripadaku, ia hanya mendapat kafan sehelai burdah, jika ditutupkan ke kepalanya maka kelihatan kakinya, dan jika ditutupkan kedua kakinya terbuka kepalanya.” Lalu aku melihatnya berkata, “Dan Hamzah juga telah gugur dan ia lebih baik daripadaku. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya,” atau ia mengatakan, “Telah diberikan kepada kami dunia sebanyak-banyaknya”, Sungguh kami khawatir sekiranya pahala kebaikan kami telah didahulukan kepada kami. “Lalu ia menangis dan meninggalkan makanannya!”.
Sahabat Abdurrahman bin Auf sangatlah mengkhawatirkan kekayaannya adalah balasan kebaikan yang cepat untuknya, dan khawatir kelak di akhirat tak mendapatkan apa-apa. Sungguh kasihan jiwa-jiwa yang haus kekayaan dan hanya kilau dunia yang diharapkan. Tersebab harta dia taat dan tersebab pujian dia semangat.

Sabtu, 13 September 2014

Membantu Kawan (2)

Jabir r.a. berkata : Ketika Rasulullah s.a.w. akan pergi berperang bersabda : Hai para sahabat Muhajirin dan Anshor, sungguh sebagian dari kawan-kawanmu ada yang tidak mempunyai kekayaan dan keluarga, karena itu maka harus tiap orang dari kamu menggabungkannya kepadanya dua atau tiga orang. Berkata Jabir : Maka tiada seorangpun diantara kami melainkan ia bergantian kendaraan dengan orang yang digabungkannya, maka saya menggabungkan dua atau tiga orang, dan bahagianku dan kendaraan sama dengan mereka. (HR. Abu Dawud).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 106.

Jumat, 12 September 2014

Membantu Kawan (1)

Abu Sa’id Alkhudry r.a. berkata : Ketika kami dalam bepergian, tiba-tiba datang seorang berkendaraan menoleh kekanan kekiri. Maka Rasulullah s.a.w. bersabda : Siapa yang ada kelebihan kendaraan hendaknya memberikan pada yang tidak berkendaraan, dan siapa yang kelebihan makanan hendaknya memberi pada yang kekurangan makanan. Kemudian Nabi menyebut berbagai macam, hingga kami merasa bahwa tiada hak bagi seseorang memiliki sesuatu kelebihan. (HR. Muslim).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 105-106.

Kamis, 11 September 2014

Adab Bepergian Turun Bermalam, Dan Kasihan Terhadap Kendaraan Dan Menjaga Benar Kepentingan Kendaraan, Dan Boleh Menggoncengkan Orang Jika Dirasa Kuat Kendaraannya (7)

Anas r.a. berkata : Kami dahulu jika berhenti ber-khemah di tengah jalan, tiada kami sholat sunnat melepas tali kendaraan mengistirahatkannya lebih dahulu. (HR. Abu Dawud).
----------------------
Tarjamah RIADHUS SHALIHIN II, Salim Bahreisy, Penerbit PT Alma’arif Bandung, Cetakan keempat 1979, halaman 104.

Ijtihad Umar bin Khattab (6)

Soal Talak Tiga dengan Sekali Ucapan
Ada ijtihad Umar mengenai nas Qur’an yang berbeda dengan kita sekarang. Allah berfirman : “Bercerai dibolehkan hanya dua kali; maka tahanlah dengan cara yang pantas, atau lepaskan dengan cara yang baik….” (TQS. al-Baqarah (2) : 229), dan selanjutnya : “Bila (pihak suami) menceraikannya, maka sesudah itu tak boleh ia mengawininya lagi sebelum ia menikah dengan suami lain...” (TQS. al-Baqarah (2) : 230). Jelas bahwa yang dimaksud dalam ayat ini jika terjadi perceraian berulang kali. Sesudah terjadi dua kali perceraian suami masih boleh rujuk dengan istrinya. Tetapi sesudah talak yang ketiga sudah tak dibolehkan lagi sebelum perempuan itu menikah dengan laki-laki lain. Hikmah yang terdapat dalam nas ini jelas sekali. Perceraian atau talak berarti berakhirnya kehidupan suami-istri yang akan berakibat fatal bagi kedua pihak, dan akan berlanjut sampai kepada anak-anaknya. Juga tidak jarang pula akibat buruk akan menimpa anak-anak itu sepanjang hidupnya. Oleh karena itu Qur’an membolehkan pihak suami kembali rujuk dengan istrinya sesudah talak pertama dan sesudah talak kedua. Diisyaratkan bahwa talak itu harus didahului dengan perukunan kembali antara suami-istri sesuai dengan firman Allah : “Bila kamu khawatir terjadi perpecahan antara mereka berdua, utuslah seorang penengah (masing-nasing) dari pihak keluarga suami dan dari pihak keluarga istri. Jika keduanya menghendaki kerukunan, Allah akan membukakan jalan kepada mereka….” (TQS. an-N isa’ (4) : 35). Jika jalan keluar itu sudah tidak mungkin dan terjadi perpisahan dengan talak masih dapat dilakukan rujuk dua kali. Supaya setelah itu pihak suami-istri tidak saling menganggap enteng retaknya tali perkawinan, Qur’an mengatur dengan tidak membenarkan seorang suami kembali rujuk dengan bekas istrinya setelah talak yang ketiga, sebelum ia menikah dengan laki-laki lain. Kalau seorang suami berkata kepada istrinya : Saya jatuhkan talak tiga kepadamu, talak demikian tetap berlaku sekali, sebab talak itu dengan perbuatan, bukan dengan perkataan. Itulah yang berlaku pada masa Nabi dan masa Abu Bakr. Dalam Sahih Muslim dari Ibn Abbas ia berkata : “Talak itu berlaku pada masa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam dan masa Abu Bakr dan dua tahun di masa kekhalifahan Umar. talak tiga itu satu kali. Umar bin Khattab berkata : “Orang tergesa-gesa dalam soal yang seharusnya berhati-hati. Seharusnya ini kita berlakukan kepada mereka. Maka diberlakukannya itu kepada mereka.””
Bagaimana Umar berpendapat begitu dan memberlakukannya kepada orang padahal itu bertentangan dengan arti harfiah nas dan hikmahnya? Untuk dapat memahami ini kita harus mengacu kepada sebab turunnya ayat ini : “Bercerai dibolehkan hanya dua kali; maka tahanlah dengan cara yang pantas, atau lepaskan dengan cara yang baik…” Ibn Jarir menceritakan dalam tafsirnya bahwa apa yang dikatakan oleh sebagian mereka bahwa “ayat ini turun karena orang-orang jahiliah dan orang-orang Islam sebelum turun ayat tersebut menceraikan istri tanpa batas yang menerangkan berakhirnya kembali rujuk dengan istri itu dalam masa idahnya. Untuk itu Allah menyebutkan suatu batas yang mengharamkan berakhirnya talak itu bagi laki-laki terhadap istri yang sudah diceraikan kecuali sesudah menikah lagi dan ketika itu si istri lebih berhak atas dirinya daripada laki-laki itu.” Disebutkan bahwa ada laki-laki berkata kepada istrinya pada masa Rasulullah sallallãhu ‘alaihi wasallam : Aku tidak akan melindungimu dan tidak akan membiarkanmu boleh dikawini! Kata perempuan itu : Bagaimana caranya? Dijawab : Menceraimu, dan kalau waktu idah sudah hampir habis aku kembali rujuk lagi. Kapan dibolehkan? —yakni menikah dengan yang lain. Perempuan itu pergi menemui Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Allah menurunkan ayat ini : “Bercerai dibolehkan hanya dua kali; maka tahanlah istrimu dengan cara yang pantas, atau lepaskan dengan cara yang baik...” Orang menyambutnya sebagai hal baru, baik yang sudah diceraikan atau tidak. Qatadah sebagai sumber mengatakan : Orang jahiliah dapat menceraikan tiga kali, sepuluh kali atau lebih, kemudian rujuk lagi dengan perempuan yang masih dalam idah. Maka Allah membatasi talak itu tiga kali.”
Dari sebab turunnya ayat ini terlihat bahwa pembatasan hak laki-laki mengadakan rujuk terhadap istrinya —selama dengan berakhirnya idah itu belum bergaul, dan rujuk itu tidak lebih dari dua kali— tujuannya agar pihak laki-laki tidak merugikan pihak perempuan dan tidak membiarkannya seolah-olah ia hidup terkatung-katung. Melindungi perempuan demikian ini sesuai dengan jiwa Islam. Demikian rupa Qur’an melindungi kepentingan perempuan sehingga perempuan yang diceraikan dua kali disuruh tetap tinggal di rumah suami-istri tadi selama masa idah, dan harus mendapat perlakuan yang baik. Allah berfirman : “….. dan janganlah keluarkan mereka dari rumah-rumah mereka, juga janganlah mereka sendiri yang keluar, kecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang sudah jelas...” (TQS. at-Talaq (65) : 1) dan “Untuk istri-istri yang diceraikan (harus diberi) biaya hidup menurut (ukuran) yang pantas...” (TQS. al-Baqarah (2) : 241). Firman-Nya lagi : “Jika waktu yang ditentukan buat mereka sudah sampai, pertahankanlah mereka dengan cara yang baik atau lepaskanlah mereka dengan cara yang baik...” (TQS. at-Talaq (65) : 2), juga : “…. Dan suami-suami mereka lebih berhak rujuk jika mereka menghendaki damai (kerukunan)...” (TQS. al-Baqarah (2) : 228), Selanjutnya : “Apabila kamu menceraikan istrimu dan sudah cukup masanya (idah), maka janganlah dirintangi mereka menikah lagi dengan suaminya (yang dulu) jika sama-sama mereka setujui dengan cara yang pantas…” (TQS. al-Baqarah (2) : 232). Ayat-ayat ini dan yang lain melarang pihak suami merugikan istrinya, dan gangguan ini dipandang sebagai dosa besar. Allah telah menentukan adanya rujuk itu untuk kerukunan. Kalau ternyata kerukunan sudah tidak mungkin, dan ternyata rujuknya suami kepada istrinya tujuannya hanya untuk membuat mudarat (merugikan) hikmah rujuk itu sudah tak ada artinya lagi.
Kemungkinan besar mereka yang menceraikan istri pada masa Umar itu tak kenal rasa kasihan sesudah mereka diceraikan. Bekas tawanan-tawanan perang Irak dan Syam begitu banyak dan menggoda penduduk Medinah dan Semenanjung. Mereka lalu cepat-cepat menceraikan istri secara berlebihan karena hendak memperturutkan nafsu. Mereka mengatakan talak tiga dengan sekali ucapan sehingga perempuan-perempuan genit itu yakin bahwa dia adalah satu-satunya orang dalam hati laki-laki itu.
Mungkin juga ada sebab-sebab lain yang mendorong sekelompok Muslimin pada masa permulaan itu dengan mempermainkan talak tiga secara sewenang-wenang dan sangat menyakiti. Dengan demikian laki-laki dapat kawin lagi dengan perempuan lain, Arab atau bukan-Arab, di luar tawanan-tawanan perang, dengan syarat agar ia menceraikan istri pertamanya dengan talak tiga dan ia tak akan boleh rujuk sebelum bekas istrinya itu kawin dengan laki-laki lain. Kalaupun terjadi rujuk, rujuk ini akan menimbulkan gejolak dalam rumah dengan akibat tidak akan membawa ketenteraman hidup rumah tangga.
Sebab-sebab yang seperti inilah yang telah mendorong Umar mengeluarkan fatwanya, dan memberlakukan talak tiga dengan sekali ucapan seolah itu talak tiga yang masing-masing terpisah. Dia melihat bahwa jika orang sudah begitu meremehkan akad pernikahannya, lalu menggabungkan talak tiga menjadi satu, orang yang telah berbuat sewenang-wenang harus memikul akibat perbuatannya itu. Dan itulah yang dikatakannya : “Orang tergesa-gesa dalam soal yang seharusnya berhati-hati. Seharusnya ini kita berlakukan kepada mereka!”
Inilah ijtihad dengan menggunakan akal pikiran yang kemudian tidak sedikit ahli fikih yang menentang pendapat Umar ini sampai di zaman kita sekarang pun di beberapa negeri Islam banyak orang yang menentangnya. Janganlah hendaknya ada yang berprasangka terhadap Umar, juga dia tidak berprasangka terhadap orang yang menentangnya. Umar dan sahabat-sahabat yang lain tidak memberikan fatwa dengan pendapat mereka sebagai pemaksaan, juga bukan dia sendiri yang merasa berhak, tetapi itu adalah sekadar pendapat, kalau benar dari Allah dan kalau salah dari pihaknya sendiri. Untuk itu ia beristigfar kepada Allah. Umar pernah bertemu seseorang yang sedang bermasalah lalu ditanya : Apa yang Anda lakukan? Dijawab : Ali dan Zaid memutuskan begini... Kata Umar : Kalau saya yang begitu tentu saya lakukan begini. Kata orang itu : Mengapa tidak Anda lakukan. keputusan di tangan Anda? Umar menjawab : Kalau saya bawa Anda kepada Qur’an dan Sunah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam tentu sudah sava lakukan. Tetapi saya ingin mengajak Anda kepada pendapat saya. Dan pendapat itu kolektif. Oleh karena itu apa yang diputuskan oleh Ali dan Zaid tidak gugur. Suatu hari ketika Umar menyampaikan suatu pendapat ada yang berkata: Inilah pendapat Allah dan pendapat Umar. Orang itu dibentaknya : Tidak benar apa yang Anda katakan. Inilah pendapat Urnar : kalau benar dari Allah, dan kalau salah dari Umar. Dia diam sebentar, kemudian katanya : Hukum adalah yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Janganlah pendapat yang salah hendak dijadikan suatu hukum bagi umat.
Kalaupun saya sudah menyebutkan ijtihad Umar mengenai talak tiga yang dengan satu kata dan yang secara harfiah bertentangan dengan nas dan hikmah karena sebab-sebab yang sudah saya sebutkan di atas, baik juga kalau di sini saya singgung juga, bahwa bukan hanya dalam soal ini saja ia berijtihad. Dia juga berijtihad dalam soal perkawinan dan perceraian, tentang kehidupan suami-istri dan ibu dengan ijtihad yang kemudian begitu besar pengaruhnya dalam pembentukan hukum fikih. Dialah yang melarang nikah mut’ah. Sejak itu kaum suni berjalan atas dasar pendapatnya itu. Juga Umar melarang penjualan ibu anak-anak (yang asalnya hamba sahaya) yang di masa Rasulullah dan di masa Abu Bakr dibolehkan. Ali bin Abi Talib di masa kekhalifahannya bermaksud menghidupkan kembali cara ini, dan mengatakan bahwa tak adanya penjualan itu atas dasar ijtihad dengan persetujuan dia dengan Umar, dan kadinya Ubaidah as-Salmani berkata : Pendapat Anda dan pendapat Umar bersama-sama lebih kami sukai daripada pendapat Anda sendirian. Ali menjawab : Ambillah keputusan seperti yang sudah kalian lakukan dulu. Demikianlah karena dia tidak menyukai adanya perbedaan. Tentang perempuan yang diceraikan yang masih dalam idah serta perkawinannya dengan yang bukan suaminya yang pertama, dan pewarisannya sebelum habis waktunya dan segala yang berhubungan dengan itu Umar memberi fatwa dengan fatwa-fatwa yang kebanyakannya masih berlaku sampai sekarang.
-------------------------
Umar bin Khattab, Sebuah Tela'ah Mendalam Tentang Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya, Muhammad Husain Haekal,diterbitkan oleh Litera Antar Nusa, Cetakan Kesebelas, Februari 2011, halaman 691-695.